Bab 2 – Belajar Kelompok Bersama Saint
Sepulang sekolah
keesokan harinya.
Di restoran keluarga
di depan stasiun terdekat. Yamato dan
Sayla bertemu untuk belajar kelompok.
Yamato adalah yang
pertama tiba, dan Sayla datang sekitar dua puluh menit kemudian.
"Maaf, apakah
kamu menunggu lama?"
Sayla sedikit
terengah-engah ketika dia bertanya. Dia
mungkin tersesat saat berlari ke restoran.
“Aku juga baru
sampai. Karena tadi aku harus mampir ke
ruang staf. ”
...Itu bohong, tapi itulah
cara Yamato untuk menunjukkan kepeduliannya.
Yamato memilih
bertemu di sini karena keegoisannya, tidak ingin dilihat oleh teman-teman
sekelasnya, jadi wajar saja baginya untuk menunjukkan kepedulian seperti itu.
"Itu bagus. Ayo masuk, kalau begitu.”
Sayla mendesaknya
untuk masuk ke dalam restoran keluarga.
Restorannya tidak
begitu ramai jadi Yamato dan Sayla dituntun ke meja untuk empat orang di dekat
dinding.
“Apa yang harus kita
pesan?”
Begitu mereka duduk
saling berhadapan, Sayla segera membuka menu dan bertanya dengan suara yang
menggetarkan hati.
“Hmm, kupikir aku
hanya akan minum. Jika aku makan
sesuatu, aku akan jadi ngantuk.”
"Jadi
begitu. Baiklah aku akan memesan."
"Ya"
Sayla menekan tombol untuk
memanggil pelayan, dan seorang pelayan datang untuk menerima pesanan tak lama
kemudian.
Sayla menunjuk menu.
Pizza Margherita,
kentang krispi, doria otentik, gratin krim udang, dan dua minuman.
“Itu cukup
banyak. Dan semuanya adalah makanan
berminyak.”
Ketika Yamato bergumam
pada dirinya sendiri, Sayla seolah tidak punya pilihan selain memesan lagi.
"Tambah salad
Caesar."
"Kamu tidak
perlu memaksakan diri untuk menambahkan itu."
“Yamato berkata
begitu, dan aku merasa kalau itu benar, dan kupikir aku akan makan itu sesekali.”
Yamato mengira selera
makanan Sayla sangat kekanak-kanakan, tapi ternyata, dia juga khawatir tentang
kebiasaan makannya.
Namun, Yamato tetap
menutup mulutnya saat dia merasa bahwa mengatakan lebih dari itu akan
membuatnya tertekan.
Setelah pelayan memastikan
pesanannya dan kemudian pergi, Yamato dan Sayla meninggalkan tempat duduk
mereka untuk mengambil minuman.
“Yang mana yang harus
kupilih?”
Begitu mereka tiba di
mesin minuman, Sayla menuangkan coke sebanyak setengah gelas, lalu melipat
tangannya sambil berpikir.
Apakah dia akan membuat
minuman oplosan?
“…Aku akan minum es
teh saja.”
“Es teh sangat cocok
dengan Coke.”
"Tidak, aku
tidak akan mencampurnya."
"Begitu ya."
Sayla tidak terlalu
kecewa dan menambahkan soda anggur ke gelasnya, tampaknya setelah memikirkannya
matang-matang.
Itu adalah kombinasi
yang lebih aman dari yang dia duga, pikir Yamato.
"Lalu ini dan
ini."
Itu hanya awal yang
aman. Dia menambahkan berbagai minuman
secara acak, dan ketika dia akhirnya menambahkan soda melon, cangkirnya penuh.
(Itu benar-benar mengerikan…)
Minumannya berwarna
hitam, dengan semburat ungu atau hijau, dan tidak terlihat enak.
Meskipun begitu,
Sayla tampaknya lumayan puas.
“Baiklah, aku sudah
selesai. Apa Yamato juga sudah?”
“…Ya, ayo kembali.”
Ketika mereka kembali
ke tempat duduk mereka, pelayan membawakan mereka salad Caesar.
“Kamu juga bisa
makan, Yamato. Jangan khawatir tentang uangnya."
“Tidak, seharusnya tidak
seperti itu. Faktanya, karena kamu akan mengajariku,
aku lebih suka kalau aku yang membayar semuanya.”
"Aku mengatakan
itu karena aku ingin memakannya juga, kamu tidak perlu khawatir."
"Yah, setidaknya
kita bagi tagihannya."
"Hmm. Oke."
Sayla mengangguk
setuju, lalu menyesap minuman buatannya.
Sepertinya firasat
Yamato menjadi kenyataan, dan wajah Sayla sedikit terdistorsi.
Mungkin untuk membersihkan
mulutnya, Sayla mulai memakan saladnya.
“Jika kita membagi tagihannya,
Yamato harus makan banyak juga.”
Dengan itu, Sayla
memberinya satu piring kecil penuh salad.
"Shirase, kamu
harus makan itu juga, oke?"
"Aku tahu."
Dia mengatakan itu, tapi
dia hanya menaruh sekitar setengah dari piring kecilnya. Dia tidak ingin makan salad banyak-banyak. Seleranya masih kekanak-kanakan.
Yamato menatapnya,
tapi Sayla tidak membalas tatapannya dan mulai mengobrak-abrik tasnya.
Yamato mengikutinya,
mengeluarkan buku pelajaran dan buku catatan dari tasnya sendiri.
"Kalau
dipikir-pikir, tujuan utama acara ini adalah untuk belajar."
“Ya, ya.”
"Mari kita mulai
dengan Matematika B."
Matematika B adalah mata pelajaran yang paling tidak dikuasai Yamato. Dia dapat dengan mudah mendapatkan nilai tinggi dalam pelajaran humaniora, tetapi dia kesulitan mengingat pelajaran sains, dan jika dia tidak mengambil tindakan pencegahan yang tepat, dia akan berakhir dengan hasil yang mengecewakan.
"Tentu. Materi
ujiannya sampai halaman 40 dari buku pelajaran, ‘kan? ”
"Ya. Sepertinya aku masih belum menguasai materi grafik
dan persamaan.”
“Titik koordinat ya. Jika begitu, mari kita gunakan soal di
halaman ini sebagai contoh. Jadi,
pertama…”
Dengan itu, belajar
kelompok segera dimulai.
Begitu dimulai,
Yamato terkejut.
Alasannya adalah gaya
mengajar Sayla sangat mirip dengan guru matematika mereka.
Itu bukan tentang
nada suara, sikap, atau gerak tubuh. Itu
adalah versi yang disederhanakan dari apa yang dikatakan guru di kelas, menunjukkan
dengan tepat hal-hal yang penting.
Tidak ada informasi
tambahan sama sekali, membuat apa yang tampak seperti soal matematika yang
rumit jadi begitu sederhana. Dia merasa
tidak enak kepada guru matematika itu, tapi penjelasan Sayla jauh lebih mudah dipahami
Yamato.
"—Aku selesai
mengerjakan soal latihannya."
“Ah, jawabanmu benar
semua. Kerja bagus."
“Ini berkat
Shirase. Sekarang pelajaran Matematika B
tidak akan menjadi masalah.”
"Bagus. Baiklah, mari kita makan dulu. ”
"Benar. Itadakimasu.”
Sejujurnya, meskipun
Sayla sudah memesan semuanya, Yamato lupa makan karena keinginannya untuk
belajar.
Mungkin itu karena dia
sangat berkonsentrasi meski hanya sebentar, dia merasa bahwa tubuhnya membutuhkan
makanan. Yamato kemudian mulai melahap
makanan itu.
“Fiuh. Aku makan banyak."
Dia niatnya cuma
mengisi perutnya sedikit, tapi dia makan begitu banyak hingga dia mungkin tidak
perlu makan malam.
Sayla, yang pasti
telah memakan makanan dalam jumlah yang sama, memesan parfait stroberi untuk
pencuci mulut, dan Yamato jadi tahu kalau konsep memiliki perut terpisah untuk manisan
itu nyata.
“Ngomong-ngomong,
Shirase sangat hebat dalam mengajari.
Sejujurnya, aku terkejut.”
"Benarkah? Aku hanya menjelaskan apa yang kupelajari di
kelas.”
“kupikir itu luar
biasa, kamu bisa melakukan itu. Seberapa
sering kamu belajar biasanya?”
“Aku tidak belajar
saat di rumah.”
“Eh?”
“Mm?”
Dengan ekspresi
bingung di wajahnya, Sayla memiringkan kepalanya.
Yamato terguncang dan
bertanya lebih jauh.
“Yah… eh, kapan kamu
belajar? Mungkin kamu ikut les atau semacamnya?
“Aku tidak ikut les. Jika hanya untuk ujian, aku dapat menyelesaikan
sebagian besar soalnya hanya dengan mendengarkan penjelasan saat jam pelajaran.”
“H-Heh…”
Dengan kata lain,
Sayla mendapat nilai rata-rata lebih dari sembilan puluh saat ujian hanya
dengan mendengarkan penjelasan saat jam pelajaran.
Meskipun SMA
Metropolitan Ao Saki memiliki rata-rata nilai yang tinggi, itu tidak terlalu menyusahkannya
sehingga dia bisa berprestasi dalam ujian tanpa persiapan dan mempelajari ulang
materi ujian seperti siswa/i biasa.
Sayla pastilah
seorang jenius karena mampu melakukan itu.
Yamato tercengang
oleh pengakuannya yang tiba-tiba, tapi kemudian dia mendengar suara berisik
dari dekat pintu masuk restoran.
Dia menoleh dan
melihat beberapa gadis berseragam SMA Ao Saki baru saja memasuki restoran.
(Ini adalah hari sialku…
Aku tahu ini tidak akan cukup hanya dengan memilih tempat yang berjarak satu
stasiun dari sekolah.)
Dia tidak mengenali
wajah mereka, jadi dia menduga mereka dari kelas lain — mungkin murid
baru. Itu hanya firasat, tapi dia merasa
tidak nyaman sebagai senior.
“Yamato?”
Sayla memanggilnya
dengan rasa ingin tahu. Dia sepertinya
tidak memperhatikan gadis-gadis yang baru saja masuk ke restoran.
Sayla telah bersusah
payah menyempatkan waktu untuk mengajarinya.
Yamato mengingatkan dirinya sendiri bahwa dia tidak boleh kehilangan
konsentrasi dan membuang pikirannya itu.
“Maaf, tidak ada
apa-apa. Selanjutnya, bisakah kamu
mengajariku kimia?”
"Dimengerti."
Dan mereka pindah ke pelajaran
berikutnya.
"Hei, bukankah
itu saint dari tahun kedua?"
“Uwww, wah. Dia bersama seorang anak laki-laki.”
“Eh, serius? Keliatannya menarik.”
Gadis-gadis yang baru
saja masuk ke restoran tampaknya memperhatikan mereka. Meskipun mereka duduk agak jauh, mereka sangat
berisik dan menatap Yamato dan Sayla dengan mata sangat ingin tahu.
Sejujurnya, ini
canggung bagi Yamato. Itu mungkin sudah
mulai menyebar di media sosial, tapi Yamato setidaknya berharap untuk menjaga kedamaiannya
setidaknya untuk kesempatan ini.
Tapi keinginan itu
sepertinya tidak akan terwujud.
Dalam perjalanan
mereka ke mesin minuman, gadis-gadis itu berjalan melewati kursi Yamato dan
dengan berani memotretnya dengan ponsel mereka.
Mereka melakukan hal yang sama dalam perjalanan kembali dari mesin
minuman, dan Yamato mulai menundukkan kepalanya dengan canggung. Hanya masalah waktu sebelum dia jadi bahan
pembicaraan.
Saat itu, Sayla
menyodoknya dengan pensil mekanik.
"Apakah kamu berkonsentrasi?"
Yamato mengangguk
dengan jujur saat dia dihadapkan pada pertanyaan sederhana itu.
“…Bukannya aku
terganggu atau tidak bisa berkonsentrasi.
Maaf, padahal aku tahu Shirase sedang serius mengajariku.”
"Jadi
begitu. Baiklah tunggu sebentar.”
Dengan itu, Sayla
berdiri dan langsung menuju ke meja gadis-gadis itu.
Apa yang akan dia
katakan? Saat Yamato mendengarkan dengan
tidak sabar, dia mendengar suara Sayla.
"Aku tidak bisa
berkonsentrasi belajar, jadi aku akan menghargai jika kalian tidak melihatku."
Langsung ke
intinya. Ketika Sayla mengatakan itu
dengan nada lembut, gadis-gadis itu menganggukkan kepala mengerti.
"Terima
kasih."
Sayla berterima kasih
kepada mereka dan kemudian kembali dengan wajah seolah-olah tidak terjadi
apa-apa.
Saat Yamato berpikir
bahwa situasinya dapat diselesaikan dengan mudah, dia mendengar suara bernada
tinggi datang dari gadis-gadis itu.
Mereka tampak bersemangat dan sangat senang.
Ekspresi apa yang
Sayla buat di wajahnya ketika dia memperingatkan gadis-gadis itu? Aku penasaran, tapi sayangnya, Yamato tidak
bisa melihat wajahnya.
"Sihir macam apa
yang kamu gunakan?"
Ketika Yamato bertanya
tentang hal itu, dia tampak bingung dan berkata, “Tidak ada. Aku hanya meminta mereka untuk berhenti
melihatku,” Dengan kata lain, dia tidak sadar apa yang telah dia lakukan.
Suara bernada tinggi
dari sisi lain berlanjut, "Saint itu memiliki wajah yang sangat cantik!" dan “Suaranya juga bagus!” dan “Dia sangat imut menurutku! Aku benar-benar jadi penggemarnya sekarang!
” …Jadi sepertinya rumor tentang Sayla yang
populer di kalangan para gadis itu benar.
"Shirase
benar-benar populer ..."
"Hah? Aku tidak tahu.”
“Sungguh menakjubkan
betapa tidak sadarnya kamu.”
Ketidaksadarannya
sangat menakjubkan, dan bahkan Yamato menghormatinya karenanya.
Jadi Sayla bertanya
dengan ekspresi penasaran di wajahnya.
"Apakah Yamato
itu tidak menarik?"
“Pffft!?”
Yamato baru saja
menyesap es tehnya tapi seketika menyemburkannya.
“Ah, mubazir.”
“Salah siapa ini? Siapa!"
Yamato menyeka meja
dengan tsk dan batuk untuk mengembalikan pikirannya ke jalannya.
“Hmph. …Aku tahu, aku tidak pernah populer.”
"Hmm. Jadi begitu."
Yamato memiliki perasaan
yang rumit karena Sayla setuju dengan mudah, tapi yang penting sekarang adalah
bagaimana mengakhiri topik ini. Karena
itu, Yamato beralih ke buku pelajaran kimianya.
“Sudah waktunya untuk
mengakhiri obrolan ini. Ayo kita
lanjutkan belajar kita.”
“Ya, baiklah.”
Sayla tampaknya telah
kembali berkonsentrasi, dan belajar kelompok dilanjutkan.
Dua jam berlalu.
Saat konsentrasi
Yamato mulai berkurang, mereka memutuskan menyudahinya untuk hari ini.
Setelah membayar,
mereka berjalan keluar dari restoran dan melihat pemandangan malam sudah
menyebar. Ini agak baru bagi Yamato,
karena dia biasanya tidak datang ke stasiun ini.
“Hm, aku lelah.”
Sayla bergumam pada
dirinya sendiri saat dia merenggangkan tubuh di sebelah Yamato.
"Selamat
malam. Terima kasih untuk hari ini, itu sangat
membantu.”
"Itu bagus. Hanya tinggal tiga hari sampai UTS, ‘kan? Mari bekerja keras setiap hari sampai ujian
tiba.”
“O-Oh. Aku akan menghargai bantuanmu ... "
Yamato akan bertanya
padanya apakah itu tidak mengganggu belajarnya, tapi kemudian dia ingat bahwa
Sayla bukanlah tipe orang yang belajar untuk ujian, jadi dia berhenti.
Meskipun ada beberapa
gangguan tak terduga tadi, belajar kelompok hari ini sangat efektif bagi
Yamato.
Lagi pula, hanya
dalam satu hari, Yamato mampu menaklukkan dua mata pelajaran yang paling tidak dia
kuasai: matematika dan kimia.
Saat Yamato
memutuskan untuk meminta Sayla untuk membantunya meninjau pelajaran yang paling
dia kuasai besok, dia tiba-tiba sadar bahwa Sayla menatap kosong ke kejauhan.
Dari sudut matanya,
dia melihat sebuah arcade yang kosong.
"Aku tidak
keberatan mampir untuk istirahat."
Ketika Yamato
memanggilnya, Sayla segera mengalihkan pandangannya ke arahnya.
"Kamu
yakin?"
"Ya. Aku sudah paham semua pelajaran tadi. Ada baiknya untuk istirahat sebentar. ”
"Oke, ayo
pergi."
Sayla meraih tangan
Yamato dan mulai berjalan.
Dia membuat ekspresi
wajah poker biasanya, tapi Yamato tahu kalau dia agak senang. Dia pasti sudah gatal ingin ke sana.
“Tapi ini sudah
larut. Satu jam saja.”
"…Oke."
Ada jeda sebelum Sayla
menjawab, tapi Yamato memutuskan untuk tidak mengkhawatirkannya.
Untuk saat ini, dia
hanya ingin fokus bersenang-senang dengan Sayla.
Tiga hari telah
berlalu sejak saat itu, dan UTS akhirnya tiba.
Suasana di kelas
sudah tegang sejak pagi, dengan beberapa orang membaca buku pelajaran mereka
dan menumpuknya, yang lain memohon kepada teman sekelas mereka, dan sisanya
menyerah dan tidak melakukan apa-apa.
Semua ini adalah adegan yang unik untuk saat-saat sebelum ujian.
“Oh, hei!”
Dalam keadaan seperti
itu, suara yang agak ceria bergema di seluruh ruangan.
Suara itu, tentu
saja, milik Eita.
Dengan itu, suasana
tegang di kelas langsung mereda.
Saat Yamato mengagumi
kehadiran pemimpin kelas…Eita mendekatinya untuk berbicara dengannya.
“Hei, Kuraki. Apakah kamu cukup percaya diri?”
“Begitulah,
kurasa. Yah, kupikir aku bisa mengerjakan
ujian ini lebih baik daripada biasanya.”
"Oh ~, kamu
sangat percaya diri."
Yamato tidak
bermaksud terdengar begitu percaya diri, tapi dia lebih positif daripada
biasanya karena Sayla telah mengajarinya selama beberapa hari terakhir.
Sebagai tambahan,
Sayla sedang duduk di dekat jendela dengan pipinya bertumpu pada
tangannya. Dengan kata lain, dia sedang
melakukan postur biasanya.
Melihat sosok Sayla,
Yamato menjawab Eita seolah-olah dia sedang memberinya petunjuk.
“Apakah kamu percaya
diri, Shinjo? Aku tahu ini agak
terlambat sekarang."
“Ketika ini selesai,
selanjutnya adalah festival olahraga. Entah
aku percaya diri dalam ujian atau tidak, aku hanya menunggu ini selesai.”
Yamato tidak hanya
tidak begitu mengerti apa yang dia katakan, tapi Eita juga tampak kurang
percaya diri dengan ujiannya. Yamato
bertanya-tanya apakah Eita adalah tipe orang yang memikirkan hasil ujian sejak
awal.
“Mungkin itu bukan
urusanku, tapi kurasa setidaknya kamu harus mendapatkan nilai yang lumayan.”
"Oh tentu. Aku meminjam beberapa buku catatan dan
belajar, dan kupikir aku bisa mengatasi ujiannya. Aku hanya tidak sabar menantikan festival
olahraga. ”
"Itu bagus kalau
begitu."
Dari sudut pandang
Yamato, sebagai seseorang yang tidak pandai olahraga, gagasan menantikan
festival olahraga tidak terpikir olehnya, dia juga tidak bisa bersimpati dengan
itu.
Namun, Yamato sedikit
mengagumi Eita karena caranya menikmati kegiatan sekolah.
"Yah, aku minta
maaf karena mengganggumu sebelum ujian.
Mari kita lakukan yang terbaik.”
"Ya."
Setelah Eita pergi
dengan senyum cerah, Yamato melihat sekeliling kelas dan melihat May menatap
buku pelajarannya dengan ekspresi serius.
"Yah, tingkah
setiap orang sebelum ujian itu berbeda dari biasanya."
Satu-satunya orang
yang sama sekali tidak berubah dari biasanya adalah Sayla. Di satu sisi, dia yang paling berbeda dari kami
semua, tapi memang seperti itulah dia.
Dan saat Yamato
memikirkan hal itu, bel berbunyi.
Mengalihkan
pikirannya ke mode ujian, Yamato bersiap untuk memulai UTS.
UTS di SMA
Metropolitan Ao Saki diadakan selama empat hari.
Hari demi hari terasa
begitu lambat sebelum dimulai, tapi begitu selesai, rasanya seperti berlalu
dalam sekejap mata.
Dan, pada hari
terakhir UTS, Yamato berhasil menyelesaikan ujian terakhir.
Itu sepadan dengan usahanya. Dia tidak terlalu kelelahan, tapi dia merasakan
rasa pencapaian yang luar biasa.
Ini karena Yamato
melanjutkan belajar kelompok bersama Sayla bahkan selama masa ujian, dan dia
sangat siap untuk hari berikutnya.
(Aku tidak sabar
untuk melihat hasilnya. Aku belum pernah merasakan hal ini sebelumnya.)
Yamato bukan
satu-satunya yang merasa seperti itu.
Usai ujian, suasana
kelas menjadi heboh. Semua orang dalam suasana
pesta pora, berusaha menghilangkan rasa frustrasi belajar hari demi hari.
Ditambah lagi, ini
baru pertengahan pagi. Karena jadwal
ujian hari ini, mereka bisa meninggalkan sekolah sebelum tengah hari. Untuk memanfaatkan kesempatan ini, sekolah
dipenuhi dengan siswa yang membuat rencana untuk bersenang-senang selama waktu
luang mereka, dan yang lainnya sangat bersemangat untuk melakukan kegiatan klub
setelah sekian lama.
Pada saat itu, Eita,
yang berdiri di depan podium, berteriak.
“Hai semuanya, kerja
bagus dalam ujian! Besok, kita akan
kembali berlatih untuk festival olahraga!”
Saat Eita berteriak,
teman-teman sekelasnya (kecuali beberapa yang tidak pandai olahraga) menjawab
dengan berteriak, “Ohhh!”
Tanggal festival
olahraga tepat dua minggu dari sekarang.
Tentu saja saat ini adalah waktu yang tepat untuk mulai berlatih keras.
Namun, Yamato tidak
mampu mengikuti atmosfer tersebut. Sebaliknya,
dia memikirkan rencana nongkrong selanjutnya dengan Sayla.
Setelah bimbingan wali
kelas berakhir, Yamato bersiap-siap untuk pulang ketika dia mengirim pesan ke
Sayla, “Sekarang ujiannya sudah selesai, bagaimana kalau kita mampir ke
suatu tempat?”
Kemudian, Sayla
mendatanginya dengan tas di tangannya.
“Baiklah, kalau
begitu ayo pergi.”
Cara Sayla tersenyum
pada Yamato sangat imut hingga dia hampir jatuh cinta padanya. Tapi mereka masih di dalam kelas, dan tatapan
orang-orang di sekitarnya menyakitkan.
“…Yah, lebih cepat
lebih baik.”
Yamato juga mengambil
tasnya dan meninggalkan kelas dengan langkah cepat bersama Sayla.
Kemudian, Yamato dan
Sayla menuju ke sebuah restoran cepat saji yang terletak tidak jauh dari
sekolah.
Saat itu jam makan siang
dan restorannya cukup ramai, tapi mungkin karena lokasinya, tidak ada siswa
dari SMA Ao Saki yang terlihat.
Masing-masing dari
mereka memesan dan duduk berjajar di dekat jendela di lantai dua.
“Ini cukup
ramai. Aku senang ada kursi kosong~”
"Iya. Baiklah kalau begitu—"
""Kerja
bagus dalam ujian!""
Mereka saling
bersulang dengan minuman berukuran L dan kemudian secara alami saling tertawa.
Sambil tersenyum saat
melihat Sayla menggigit burger ekstra besar, Yamato memutuskan untuk bicara.
“Ngomong-ngomong,
Shirase, apakah ada tempat yang ingin kamu kunjungi untuk
bersenang-senang? Aku mendengar kalau
ada banyak tempo hari, tapi jika harus mempersempitnya menjadi satu, aku
bertanya-tanya tempat mana yang terbaik.”
Kemudian Sayla
menggeliat, mengunyah, dan memiringkan kepalanya sambil berpikir.
Begitu mulutnya benar-benar
kosong, dia mengucapkan pikiran yang dia dapat.
“Kurasa aku paling
ingin pergi ke kolam renang sekarang.
Akhir-akhir ini sangat panas.”
Namun, pergi ke kolam
renang berarti mengenakan pakaian renang.
Memikirkan Sayla
dalam pakaian renang membuat Yamato merasa canggung, jadi dia memutuskan untuk menyimpan
pikiran itu sendiri untuk saat ini.
Karena Sayla ingin
itu, tidak mungkin Yamato bisa menolak. Saat
ini terlalu dini untuk pergi ke kolam dingin biasa, tapi seharusnya tidak
masalah jika mereka pergi ke kolam air hangat.
Yamato berusaha tetap
setenang mungkin dan secara alami mencoba menerima usulan itu.
“Tentu, hari ini juga
panas. Jika begitu, kita bisa pergi ke
kolam renang umum saat akhir pekan.”
"Oh, maksudku
bukan kolam renang biasa."
“Eh?”
Saat itu, Sayla mulai
mengutak-atik ponselnya dan segera menunjukkan layar kepada Yamato.
Apa yang dia lihat di
layar adalah fasilitas "kolam renang malam" di pusat kota.
Tidak seperti kolam
renang umum di lingkungan sekitar, kolam ini didekorasi dengan lampu berwarna
cerah dan tampak seperti fasilitas yang glamor dan modis. Gambar pemuda-pemudi dengan pakaian renang
yang mencolok membuatnya tampak seperti dunia lain bagi Yamato. Dia sangat terkejut hingga otaknya membeku.
“Yamato?”
Saat Yamato tetap
diam, Sayla menyodok bahunya dan memanggilnya.
“Y-Ya, maaf. Itu terlalu mengejutkan. ”
“Kau tidak begitu
menyukainya?”
“Bukannya aku tidak
menyukainya, hanya saja… aku tidak menyukai fasilitas itu.”
Yamato sendiri juga tahu keberadaan fasilitas kolam
renang malam itu.
Itu adalah fasilitas
kolam renang yang bisa digunakan pada malam hari, tapi anggapan Yamato tentang
itu adalah tempat di mana apa yang disebut "orang-orang pesta" akan
berkumpul atau fasilitas berbahaya yang khusus untuk "pemuda-pemudi." Dia belum pernah benar-benar mengunjungi
tempat seperti itu sebelumnya, jadi dia percaya anggapan itu.
Itulah kenapa Yamato
menunjukkan penolakan, dan bahu Sayla merosot karena benar-benar kecewa.
"Jadi
begitu. Maka mau bagaimana lagi. Aku ingin pergi dengan Yamato.”
Hati Yamato terasa
sakit saat dia melihat ekspresi cemberut Sayla.
Yamato mengingatkan
dirinya sendiri bahwa mungkin tidak benar untuk berpegang erat pada anggapannya
sendiri dan memutuskan untuk menanyakan detailnya.
“…Yah, apakah kamu
pernah ke sana, Shirase? Ke kolam renang
malam itu dan sejenisnya.”
"Tidak
pernah. Tapi ketika saya melihatnya,
tampaknya memiliki atmosfer yang menyenangkan dan itu menggelitik minatku.”
“Kelihatannya
menarik… itu seperti tempat di mana orang-orang berbahaya berkumpul. Ini adalah tempat di mana kamu dapat
menemukan orang-orang yang ingin menggoda gadis-gadis seperti orang-orang yang
pernah terlibat masalah denganmu sebelumnya atau sejenisnya.”
"Apakah
begitu? Dari apa yang kulihat di situs
informasi, sepertinya banyak gadis berkumpul di sana untuk nongkrong dan itu
juga sering digunakan oleh pasangan.”
"Yah, itu akan
canggung ..."
Yamato sadar bahwa
pernyataan itu memalukan. Namun, dia
merasa bahwa dia tidak bisa menyerah begitu saja pada saat ini. Itu semacam insting pertahanan diri.
“Jadi kenapa kita
tidak pergi ke sana dan jika canggung, pergi saja?”
“Tidak, itu akan
membuang-buang uang… Tempat itu cukup mahal, tahu? Lagi pula, kenapa tidak ke kolam renang umum
biasa saja?”
"Aku tidak
begitu mengerti, hanya saja aku merasa tidak nyaman di kolam renang umum."
Sayla juga cukup
keras kepala.
Saat kedua belah
pihak terus berdebat, Sayla menghabiskan burger ekstra besar keduanya dan
kemudian mengangkat tangannya ke udara seolah-olah dia mendapat ilham.
[TL Note: Ilham mana ilham? :v]
“Tidak masalah jika
itu kolam malam, selama tidak ada orang aneh dan tidak mahal, kan?”
“Yah, jika ada tempat
seperti itu… mungkin kamu tahu tempat macam itu?”
"Sepertinya aku
tahu."
“O-Oke.”
Jika ada fasilitas
impian seperti itu, Yamato berpikir itu akan bagus. Jantung Yamato berdebar kencang saat dia
mengantisipasi, bertanya-tanya apakah itu adalah kolam renang pribadi untuk
orang kaya.
“Yah, masalah ini
sudah terpecahkan kalau begitu. Ayo
berangkat malam ini.”
“Mendadak sekali. Yah, aku ada waktu dan tidak ada yang harus kulakukan,
jadi kenapa tidak.”
“Bagaimana kalau kita
bertemu di depan gerbang sekolah jam 8:00 malam?”
"Bukankah
sebaiknya kita bertemu di stasiun?"
"Tidak. Jika kita bertemu di stasiun, kita harus berjalan
jauh.”
Tampaknya tempat itu ada
di dekat sekolah. Itu bagus karena tidak
akan menguras ongkos untuk kereta.
“Itu cukup
dekat. Tempat macam apa itu?”
“Kamu harus menunggu
dan melihatnya sendiri.”
Lalu Sayla tersenyum
penuh arti saat mengatakan itu.
Yamato memiliki
firasat buruk tentang ini, memutuskan untuk membayangkannya dengan
imajinasinya.
"Oke. Sekarang setelah kita memutuskan rencana kita
untuk malam ini, apa yang harus kita lakukan setelah ini? Kita bisa menghabiskan waktu di suatu tempat,
atau pulang lebih awal.”
"Aku harus pulang
untuk mengambil baju renangku, dan aku ingin tidur, jadi mari kita
berpisah."
“…Sebelum kita terbawa
suasana, kita tidak akan begadang semalaman, oke?”
“Aku tahu. Yamato kadang-kadang sangat serius.”
“Aku pada dasarnya
selalu serius, bukan hanya kadang-kadang.”
Mereka menghabiskan
makan siang mereka, berdebat tentang hal-hal seperti itu.
Setelah meninggalkan
restoran, mereka berjalan ke stasiun dan berpisah ketika mereka sampai di jalan
utama.
"Aku menantikan
ke kolam renangnya."
Saat akan berpisah,
Sayla berkata dengan gembira.
Senyum polos di
wajahnya begitu menggemaskan hingga Yamato hampir merasakan pipinya melunak.
“I-iya.”
Menyembunyikan
mulutnya, Yamato setuju dengannya. Dia
menantikannya, tapi dia sudah gugup, membayangkan Sayla dalam pakaian
renangnya.
“Sampai jumpa nanti
malam.”
"Ya, sampai
jumpa."
Mereka saling
melambaikan tangan dan pulang.
Yamato sangat senang
akhirnya bisa melakukan sesuatu yang seperti kegiatan musim panas.
Translator: Janaka
Next
ReplyDeleteKolam renang sekolahnya njir
ReplyDeleteNextt ditunggu
ReplyDelete👍
ReplyDeleteSi shirase terlalu di manjakan
ReplyDelete