Bab 5
Aku hanya harus bekerja di kafe selama dua hari lagi sebelum kontrakku habis. Aku sudah terbiasa dengan pekerjaan itu, dan sekarang aku bahkan bisa lancar berbicara dengan pelanggan.
"Baiklah! Ayo kita pergi! Aku sangat siap untuk bekerja! Kau sudah siap, ‘kan?”
"Bisakah kau hentikan itu?" Kokoro memarahiku. “Kau membuatku sakit kepala. Kau hanya bersemangat karena kau satu shift dengan Gojo, ‘kan? ”
Dia tahu.
"Kau mengerti aku!"
Kokoro dan aku sedang berjalan kaki dari sekolah ke stasiun bersama, di mana kami akan naik kereta untuk berangkat kerja ke Akihabara. Seperti biasa, kami berencana untuk berpisah di stasiun Akihabara dan tiba di kafe sendiri-sendiri.
Seperti tebakannya, aku senang karena Mashiro akan ada di sana. Kehadiran surgawinya adalah alasan kenapa pekerjaan itu menjadi sangat menyenangkan bagiku.
“Kau sangat beruntung bisa bekerja bersama gadis yang kau suka…” kata Kokoro.
"Kenapa kau tiba-tiba terdengar sangat sedih?" aku bertanya padanya.
“Aku memilih pekerjaan ini untuk menemukan calon pacar, tapi kontrakku akan segera berakhir dan aku tidak menemukan satupun calon pacar …”
“Yah, kau bertemu satu orang, erm, Kusumi,” aku mengoreksinya.
"Dia... Ya, kurasa..." katanya, cahaya meninggalkan matanya.
Lagi pula, dia belum pernah bertemu siapa pun yang benar-benar dia suka.
“Maksudku, bukannya aku tidak merasa senang. Aku bisa mengenakan pakaian yang sangat imut dan bernyanyi di atas panggung itu... dan semua stafnya sangat baik. Hanya saja, untuk menemukan laki-laki, aku gagal. Dimana aku harus mencari pacar?! Segalanya terlihat baik untukmu dan Gojo, jadi pastikan kau membantuku juga!”
“Tapi aku tidak begitu yakin semuanya terlihat sebagus itu,” kataku. Hubungan kami belum benar-benar berkembang. Aku masih menunggu sampai hari terakhirku bekerja, minggu depan, untuk mengajaknya kencan dan menanyakan LINE-nya.
“Setelah kita selesai bekerja, kita akan mendapatkan akhir pekan kita lagi. Aku akan mulai mencari tempat baru untuk menemukan calon pacar, dan kau juga harus melakukan hal yang sama untuk menemukan gadis, oke?”
"Hah? Jika semuanya berjalan lancar dengan Mashiro, aku tidak akan mencari gadis lain…” kataku. Itu akan menyakiti Mashiro.
“Aku tahu maksudmu, tapi, apakah kau benar-benar harus mengatakannya seperti itu?! Astaga! Kedengarannya seperti segera setelah kau mencapai tujuanmu, kau tidak akan membantuku lagi ... "
"Apa?! Aku tidak bermaksud begitu sama sekali! ”
“Hmph! Bagus! Aku tidak peduli! Aku bisa menemukan seorang laki-laki otaku sendiri, bahkan tanpa bantuan bodohmu!” katanya, berjalan cepat ke depan untuk menjauh dariku.
Kenapa dia marah sekarang?! Apakah karena dia khawatir tidak akan menemukan pacar setelah apa yang terjadi dengan Kusumi? Dia sangat gelisah akhir-akhir ini. Tapi apakah dia benar-benar harus marah padaku karena itu? Aku bahkan tidak tahu apakah Mashiro akan setuju untuk pacaran denganku! Gadis ini, aku bersumpah...
Kemudian, di dapur, Iroha membungkuk di atas omlete yang baru saja kusiapkan.
“Hei, Ichi. Kau tahu kalau ini seharusnya terlihat imut, ‘kan? ” katanya langsung ke wajahku.
Seperti di kebanyakan maid café, omelet kami digambari dan ditulisi kalimat imut yang dibuat dengan saus tomat—untuk kami, itu adalah gambar wajah kucing dengan nama kafe tertulis di bawahnya. Pelanggan dapat meminta agar itu digambar oleh salah satu maid, atau staf dapur yang akan membuatnya.
"Apa?! Aku hanya menggambar apa yang harus kugambar! ” seruku, tidak bisa melihat ada yang salah dengan kucing dari sausku.
"Wow, ini sangat buruk ..." katanya, terkekeh padaku dan karya seniku, sebelum meletakkan piring di atas nampan dan membawanya ke meja yang memesannya.
Meski aku masih tersinggung oleh penghinaan biasa Iroha, aku sudah agak terbiasa dengan itu sekarang. Itu hanya format komunikasi standarnya—atau setidaknya, begitulah dugaanku.
Aku melihat ke ruang makan sambil terus mengerjakan pesanan. Mashiro terlihat lebih manis dan ceria daripada biasanya, dan para pelanggan menyukainya. Dibandingkan senyum Kokoro, yang tampak agak kaku, tapi secara keseluruhan dia tampaknya melakukan pekerjaannya dengan baik.
Tanpa kecuali, semua gadis yang bekerja di sini adalah otaku yang imut. Tapi meski dengan begitu banyak pilihan, aku masih berpikir bahwa Mashiro adalah yang terbaik—pacar impianku. Bahkan jika dia suka seiyuu pria, sejujurnya aku tidak peduli. Untungnya, untuk alasan yang tidak sepenuhnya kupahami, dia sepertinya juga menyukaiku. Setidaknya, dia bersikap sangat ramah padaku.
Rencanaku sudah siap: pada hari terakhir aku bekerja, aku akan menanyakan kontak LINE-nya dan apakah dia ingin kencan denganku. Kemudian, selama kencan, aku akan memintanya untuk menjadi pacarku. Jika aku bisa melakukan sesuatu seperti itu.
Jika dia mengatakan tidak, aku mungkin akan mati karena kecewa, tapi karena kami tidak akan bekerja bersama lagi, setidaknya aku tidak harus menanggung kecanggungan di kemudian hari.
Ini adalah kesempatan sempurna. Aku akan memintanya untuk menjadi pacar otakuku!
"Aku akan istirahat!" Kataku sebelum meninggalkan dapur.
Aku sedang duduk melihat ponselku, menikmati segelas air yang menyegarkan, ketika aku mendengar ada suara datang dari ruang ganti.
“Bisakah kau mempercayainya? Pelanggan yang sama lagi! 'Mashiro, tolong, beri aku LINE-mu!' Dasar bajingan!”
Suara itu tidak salah lagi adalah suara Iroha. Kupikir shiftnya sudah selesai, tapi dia masih di ruang ganti, berbicara dengan seseorang. Bahkan aku terkejut tahu seorang pelanggan meminta informasi kontak pribadi Mashiro. Mashiro pasti kerepotan karena itu. Beberapa pelanggan tidak bisa mengikuti peraturan.
"Kita berdua sudah memberitahunya kalau itu melanggar peraturan, ribuan kali," lanjut Iroha. “Sebaiknya kita meminta owner atau manajer untuk melakukan sesuatu tentang itu.”
"Kau benar. Kita harus meminta owner untuk melarang pelanggan itu masuk ke kafe.”
“Whoa, melarangnya?! Kau selalu kejam, ya, Mashiro? ”
Apa? Iroha sedang berbicara dengan... Mashiro? Tapi itu tidak terdengar seperti dia ...
“Seperti itu juga di kafe lama. Lebih baik untuk menangani si menjijikkan ini sesegera mungkin. Yang terburuk adalah mereka selalu saja pelit! Mereka hanya memesan satu minuman, tidak meminta berfoto bersama ataupun lagu atau apa pun, dan kemudian pergi! Apa peduliku jika mereka tidak datang lagi?”
Apakah itu benar-benar Mashiro? Suaranya terdengar jauh lebih rendah dari biasanya, dan hal-hal yang dia katakan juga tidak seperti dirinya... Apakah ini Mashiro yang sama yang kukenal? Gadis imut dan lugu yang selalu tersenyum dan memperlakukan semua orang dengan baik?
Aku merasakan kesan sempurnaku tentang Mashiro perlahan runtuh. Aku tidak berencana untuk menguping, tapi karena ruang istirahat dan ruang ganti sangat dekat satu sama lain, aku terpaksa mendengar itu.
“Ya, aku aku setuju denganmu untuk itu,” kata Iroha. “Mereka hanya datang ke sini berharap untuk bisa berkencan dengan para maid atau semacamnya. Ngomong-ngomong, apakah kau berhasil mendapatkan tiket untuk konser Next Stage? Aku benar-benar tidak beruntung.”
"Aku sudah memberitahumu untuk tidak membicarakan itu di sini!"
"Tapi kau satu-satunya yang sedang istirahat sekarang, dan pelanggan tidak bisa mendengarmu dari sini."
"Aku tahu, tapi kau tidak boleh mengurangi kewaspadaanmu..."
Satu-satunya yang sedang istirahat? Apa mereka melupakanku? Dan Next Stage... Aku mendengar tentang itu dari Nishina. Itu anime tentang idol laki-laki, ‘kan? Dia ingin pergi ke konsernya? Aku tidak tahu dia juga suka anime untuk perempuan ...
“Ngomong-ngomong, ya, aku memang berhasil mendapatkan tiketnya. Aku harus membeli sepuluh kaset untuk mendapatkannya,” kata Mashiro.
Kaset? Seperti, Blu-ray? Itu pasti seperti kau mengikuti lotre dengan membeli Blu-ray sebuah anime... Tapi itu berarti dia membeli kaset anime yang sama sepuluh kali...
"Haha! Seperti yang diharapkan dari penggemar berat Soma Sato!”
“Aku harus menggunakan semua gajiku untuk itu. Kupikir mungkin aku harus mengambil lebih banyak shift untuk mendapatkan lebih banyak uang belanja.”
Oh itu benar! Seiyuu yang dia bicarakan dengan temannya saat kami kencan tempo hari... adalah Soma Sato! Jadi dia penggemar berat pria itu?
Tirai yang memisahkan ruang istirahat dengan dapur terbuka, dan Mikoto masuk.
“Ichigaya! Kenapa kamu di sini?!" dia bertanya kepadaku. "Kamu seharusnya berada di dapur!"
"Hah? Tapi ini waktu istirahatku…”
“Istirahatmu masih satu jam lagi!” katanya, dan aku melihat ke jadwal shift di dinding.
“Ugh! Kamu benar! Maaf!"
Aku sadar kalau aku telah mengambil jatah istirahatku satu jam lebih awal karena kesalahanku sendiri. Pada saat itu, pintu ruang ganti terbuka, dan aku melihat Mashiro di dalam, sangat pucat. Mata kami bertemu sesaat, tapi aku membuang muka.
Mashiro yang kudengar beberapa saat tadi seperti gadis yang benar-benar berbeda.
Apakah itu... Mashiro yang asli? Apakah Mashiro yang kukenal palsu?
Aku sangat terkejut hingga aku tidak tahu harus berkata apa, jadi aku tidak mengatakan apa-apa. Aku hanya berjalan kembali ke dapur dan kembali bekerja. Aku tidak bertukar banyak kata dengan Mashiro selama sisa hari itu.
Shiftku sudah selesai, dan aku pergi untuk ganti baju. Shift Kokoro seharusnya berakhir pada saat yang sama, tapi karena dia sangat marah padaku, dia mungkin akan pulang sendiri.
Aku meninggalkan ruang ganti dan berjalan menaiki tangga yang menuju keluar dari toko di mana, yang mengejutkanku, aku menemukan Mashiro.
Shiftnya seharusnya sudah selesai beberapa saat lalu...
"A-Ada apa?" aku bertanya padanya.
"Itu... yah... er..." katanya canggung, tanpa melakukan kontak mata.
Staf dapur dan maid tidak seharusnya berbicara satu sama lain di luar kafe... Jika owner tahu, kami akan berada dalam masalah.
“Kamu mendengar percakapanku dengan Iroha, ‘kan?” dia bertanya padaku dengan suara muram.
"Y-Ya... aku tidak bermaksud mendengarkan, tapi aku salah mengambil waktu istirahat terlalu awal dan kebetulan berada di sana."
"Apakah kamu terkejut dengan apa yang kukatakan?" dia bertanya, melirik ke arahku dan tampak malu.
"Yah..."
Aku benar-benar terkejut, setidaknya sedikit. Aku sudah curiga kalau Mashiro sangat suka seiyuu pria itu, tapi aku tidak masalah dengan itu. Masalahnya adalah dia memalsukan segalanya, termasuk cara bicaranya, suaranya, dan kepribadiannya, di depanku.
Kenapa dia bahkan melakukan itu?
Aku tidak yakin bagaimana harus menanggapinya.
“Kamu terkejut…” katanya. Dia pasti menganggap diamku sebagai “ya’. Ekspresinya tampak seperti senyum pahit dan menyakitkan. Aku benar-benar tidak tahu apa yang dia pikirkan.
“Kurasa sudah terlambat sekarang, ya…” gumamnya pada dirinya sendiri. “Aku minta maaf karena membohongimu selama ini. Aku berbohong tentang semuanya, hobiku dan kepribadianku yang kasar. Aku suka seiyuu pria, aku suka anime untuk perempuan, dan aku memiliki kepribadian yang buruk. Itulah aku yang sebenarnya. Jadi.. kamu kecewa?” dia bertanya sambil tertawa kecil.
Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Apakah dia benar-benar menyesal telah berbohong padaku? Apakah dia mengolok-olokku karena tertipu? Dan sejak awal kenapa dia berbohong? Untuk bersenang-senang? Aku punya banyak pertanyaan, tapi aku tidak punya energi untuk menanyakan semua pertanyaan itu.
“Bolehkah aku menanyakan satu hal padamu?” kataku, mengumpulkan sedikit suaraku yang tersisa.
“Hm?”
“Kenapa kamu mengirimiku pesan, mengajakku berkencan, dan sebagainya?” Tanyaku.
Dia tampak terkejut dengan pertanyaanku, dan tidak segera menjawab.
“Apa kamu hanya mempermainkanku? Menertawakan reaksiku?” aku melanjutkan.
“Bukan begitu... kamu tahu, lebih baik melumasi sebanyak mungkin roda. Jika kamu menyukaiku, itu akan menjadi satu orang lagi yang menyukaiku, ” katanya, menunduk, dengan senyum yang tidak terlihat sedikit pun senang.
Mendengar itu, aku merasakan sakit di dadaku.
Sejak awal sudah agak curiga. Mashiro baik kepada semua orang, dan semua orang menyukainya. Setiap kali dia men-tweet, baik di akun pribadinya atau akun maidnya, puluhan pria akan segera berkomentar. Ada banyak orang yang ingin kencan dengannya... dan aku takut kalau aku hanyalah salah satu dari mereka.
Kokoro benar. Bagi Mashiro, aku hanyalah seorang penggemar. Saat dia mengirimiku pesan, saat dia mengajakku kencan, dan saat dia membuatkanku kue mangkuk itu, kupikir mungkin aku spesial baginya—mungkin dia benar-benar menyukaiku. Tapi aku baru saja mendengar kebenarannya, langsung dari mulutnya.
"Lebih baik melumasi sebanyak mungkin roda"? Aku hanyalah roda lain yang dia olesi hingga dia bisa menggunakanku.
“Aku... aku mengerti. Terima kasih sudah mengatakan yang sebenarnya,” kataku, dan aku berbalik untuk pergi.
"I-Ichigaya!" Aku mendengar dia memanggil namaku, tapi aku tidak memiliki kekuatan untuk berbicara dengannya lagi.
Kemudian, suara lain yang kukenal dari belakang, mengejutkanku.
"Apakah kau serius?!"
"Hah?" seruku, terkejut, ketika aku berbalik untuk melihat Kokoro, yang baru saja keluar dari kafe di sebelah Mashiro.
Apakah dia mendengar percakapan kami barusan?
“‘Melumasi roda? Kau pasti bercanda!” katanya, menatap tajam ke arah Mashiro. “Kau mempermainkannya agar kau bisa menggunakannya! Kau membuatnya berpikir kalau kau menyukainya hingga dia akan jatuh cinta padamu! Itu menjijikkan!"
Aku belum pernah melihat Kokoro sepanas itu sebelumnya. Kenapa dia begitu marah? Bukankah dia marah padaku beberapa jam yang lalu? Tapi sekarang dia... di pihakku?
"I-Ini bukan urusanmu!" jawab Mashiro. "Itu tidak ada hubungannya denganmu—"
“Persetan dengan itu! Apakah kau mengerti apa yang sudah kau lakukan?! Kau mempermainkan perasaannya! Apakah menyenangkan memperlakukan orang seperti itu?!”
Kokoro terus meneriaki Mashiro, yang seluruh tubuhnya menegang.
"M-Maksudku bukan..." dia mulai bicara pelan.
Pada saat itu, owner kembali dari kafe lain, dan melihat apa yang terjadi.
"Hai! Apa yang kalian lakukan disana?! Bagaimana jika pelanggan melihat kalian?! Berpisahlah dan urus masalah itu di tempat lain!” dia memarahi kami.
Dalam diam, kami semua berpisah.
Selama sepuluh menit waktu yang kuperlukan untuk berjalan dari kafe ke stasiun, beberapa pikiran membuat kepalaku berputar. Secara khusus, satu kalimat bergema di kepalaku:
"Kamu tahu, lebih baik melumasi sebanyak mungkin roda."
Suara Mashiro dalam kata-kata itu memperkuat rasa sakit di dadaku ribuan kali lipat.
Dia membohongiku, memanfaatkanku, dan menyembunyikan kepribadiannya yang sebenarnya, yang kasar. Itu mengejutkan, tapi itu bukanlah masalah terbesar. Gadis impianku sebenarnya tidak peduli denganku. Itu adalah masalah terbesar.
Aku sangat bodoh. Kenapa saya tidak menyadarinya? Seorang gadis semanis dia tidak akan pernah bisa menyukaiku. Nishina bahkan mencoba memperingatkanku, tapi aku tidak mendengarkannya. Aku hanya membodohi diriku sendiri. Semua yang Mashiro lakukan, semua yang dia katakan... itu semua kebohongan yang dimaksudkan untuk memanfaatkanku. Aku hanyalah salah satu dari ratusan kutu buku idiot yang ingin dia ubah menjadi penggemarnya.
Aku malu pada kebodohanku sendiri sampai putus asa.
Tetap saja... Aku belum mencapai titik terendah. Jauh di lubuk hatiku, aku merasa kesedihan yang luar biasa ini hanyalah sementara. Dan aku harus berterima kasih kepada satu orang untuk sisa optimisme terakhir yang dapat kupertahankan...
"Hei," sapa Kokoro.
Dia menungguku di stasiun Akihabara dengan senyum sedih di wajahnya.
“Hai…” sapaku sambil berjalan mendekatinya. "Nishina... maafkan aku."
"Hah?"
Kami menuju peron dan berdiri di sana, menunggu kereta.
“Kau pernah memperingatkanku untuk menjauh dari Mashiro... dan kau benar. Dia adalah tipe gadis seperti yang kau pikirkan. Aku membodohi diri sendiri dengan berpikir kalau dia menyukaiku, tapi sebenarnya dia hanya ingin memanfaatkanku. Seharusnya aku mendengarkanmu.”
"Kau tidak perlu minta maaf," katanya. “Sejak kita mulai bekerja bersama, aku juga tertipu. Jelas kalau dia sedang berakting, tapi dia tidak tampak seperti gadis nakal atau semacamnya. Dan ya, aku benar-benar mengerti itu. Ketika kau menyukai seseorang, kau ingin memercayai mereka.”
Aku tergerak oleh kebaikannya—meskipun aku mengabaikan peringatannya, dia masih berusaha menghiburku.
"Dan juga... aku juga minta maaf," katanya. “Hari ini, ketika kita akan bekerja, aku marah tanpa alasan padamu, dan seharusnya aku tidak begitu. Aku takut kalau akhirnya aku tidak menemukan pacar saat kau sudah pacaran dengan Gojo, jadi, sepertinya, aku agak cemburu…”
“Jangan khawatir tentang itu. Lebih penting lagi…” kataku, masih tidak yakin kata-kataku ini cukup. “Terima kasih untuk yang tadi.”
Aku menatapnya, sangat serius, mencoba mengungkapkan betapa bersyukurnya aku. Ketika dia berdiri untukku, aku sangat senang sampai-sampai aku bisa menangis. Itu adalah pertama kalinya kata-kata seseorang memberiku kekuatan sebanyak itu. Dia marah, benar-benar marah pada Mashiro... dan itu semua untuk membelaku.
"T-Tidak perlu berterimakasih padaku untuk itu..." katanya.
Tapi dia salah. Jika bukan karena dia, aku akan terpukul lebih keras, sangat keras hingga aku tidak akan pernah bangun lagi.
"Kau tahu, bagaimana menurutmu kalau kita makan di luar sesekali?" Kokoro bertanya setelah kami sampai stasiun dekat rumah kami.
“Tentu, aku tidak keberatan,” jawabku, dan kami pergi mencari tempat makan bersama.
+×+×+×+
"Sekarang pekerjaan kita hampir selesai, kita harus mencari tempat lain untuk menemukan pacar!" Kokoro berkata begitu tepat setelah kami memesan makanan kami. “Aku tidak beruntung di kafe, dan kau harus mengalihkan pikiranmu dari Mashiro!”
“Mencari pacar, ya…” kataku.
Aku sedang tidak mood untuk membahas romansa. Berkat Kokoro, aku tidak merasa seperti benar-benar ditendang keluar dari permainan cinta, tapi untuk saat ini aku ingin beristirahat dan melupakan tentang perempuan.
"Kupikir aku akan mengambil istirahat sebentar dari hal itu."
"Apa?! Jika kau mengatakan hal seperti itu, kau akan lulus SMA tanpa pernah menemukan pacar! Tepat setelah putus cinta adalah waktu terbaik untuk menemukan pacar, tahu? Salah satu temanku putus dengan pacarnya dan segera menemukan yang baru! Dan dia berkata kalau cinta adalah obat untuk patah hati!”
“B-Benarkah?”
Proses pergi dan bertemu para gadis, saat ini, terdengar sangat merepotkan. Aku bertanya-tanya apakah aku bisa tertarik pada orang lain pada saat ini, dan, bahkan jika aku bisa, segalanya tidak akan berjalan lebih baik daripada saat dengan Mashiro.
“Yah, kita bisa merencanakannya begitu kita mendapatkan—Hm?” Kokoro terganggu oleh suara notifikasi di ponselnya.
"Oh, aku mendapat pesan dari Iroha," katanya.
"Kalian berdua chattingan?"
"Iya. Kami memiliki minat yang sama, dan dia keren.”
Karena aku bekerja di dapur, aku hanya bisa bertemu para maid saat istirahat. Tapi Kokoro, sebagai maid, menghabiskan banyak waktu bersama Iroha. Itu akan menjelaskan bagaimana mereka bisa menjadi teman dengan begitu cepat.
"Oh! Benarkah?!" dia berteriak saat membaca pesan itu.
"Ada apa?" Tanyaku.
“Dia mengatakan kalau akan ada acara pertemuan untuk semua pekerja paruh waktu dari berbagai kafe! Itu seharusnya untuk 'mengembangkan semangat tim' atau semacamnya... Pokoknya, dia bertanya padaku apakah aku ingin pergi! Itu diadakan hari Sabtu, jadi kita berdua bisa pergi!”
"Oh begitu..."
“Tidak bisakah kau sedikit lebih antusias?! Ini adalah kesempatan sempurna untuk bertemu orang-orang baru! Ada juga yang kafe berlokasi di Ikebukuro yang semua stafnya adalah para pria tampan! Mungkin akan ada beberapa dari mereka di sana!” katanya bersemangat. Seperti biasa, memikirkan pria tampan saja sudah cukup untuk membuat matanya berbinar.
"Dan pikirkan semua maid café lainnya juga!" dia berkata. “Akan ada banyak sekali maid otaku imut yang bisa kau temui!”
M-Maid otaku imut?! Itu memang terdengar menarik...
“Tapi bukankah Mashiro juga akan ke sana?” Aku bertanya. Harus melihatnya di tempat kerja sudah cukup buruk, jika aku bertemu dengannya di tempat seperti itu, akan sangat canggung hingga aku ingin segera pulang.
“Aku akan mencoba bertanya pada Iroha,” kata Kokoro, dan dia mengiriminya pesan.
“Dia bilang Gojo tidak bisa datang, karena dia ada shift pada hari Sabtu!” katanya tak lama setelah itu.
“A-aku mengerti...”
“Ayo, Ichigayaaa! Ini adalah kesempatan sempurna!” katanya, sangat bersemangat seperti biasa.
Dia akan pergi bahkan jika aku tidak pergi, 'kan? Jika dia berteman dengan Iroha, mereka mungkin akan pergi bersama. Tapi jika aku tinggal di rumah sendirian, bermain video game atau menonton video VTuber... Aku mungkin akan benar-benar sedih memikirkan Mashiro. Itu kedengarannya tidak baik.
“O-Oke! Aku akan pergi juga," kataku.
"Sempurna! Aku akan memberi tahu Iroha, ” katanya, mengetik di ponselnya dengan gembira.
Dalam arti tertentu, antusiasmenya menular. Harapanku, bagaimanapun, tidak setinggi itu. Aku tidak berharap untuk menemukan pacar di acara itu — yang kuinginkan hanyalah mengalihkan pikiranku dari Mashiro.
Translator: Janaka