Bab 4
Kebanggaan demi kebanggaan (Yume Irido)
“Mulai besok, kegiatan OSIS akan
dihentikan selama seminggu.”
Akhir
Oktober, dan ujian tengah semester kedua tinggal seminggu lagi, Suzuri Kurenai,
ketua OSIS, mengumumkan,
“Semua orang harus bekerja keras
dalam belajar kalian dan memperoleh hasil yang pantas sebagai pengurus
OSIS. Kebetulan, ruang OSIS ini dapat kalian gunakan untuk belajar mandiri
jika kalian ingin meminta nasihat, yang merupakan hak istimewa kecil untuk pengurus
OSIS.”
Penasihat
OSIS Arakusa-sensei sedang duduk di sudut ruangan, “Jangan terlalu sering ke
sini. Itu terlalu merepotkan.” Katanya dengan lesu. Arakusa-sensei jarang
hadir di ruang OSIS. Menurutnya, “Aku benci menjadi penasihat karena aku tidak dibayar.” Tapi
kemudian,
“Hei, Alexa! Bisakah aku
datang saat makan siang?”
“Hanya jika kau bisa
menemukanku. Juga, namaku itu Arakusa.”
[TL Note: ejaan Jepang untuk Alexa adalah Arakusa.]
Entah
kenapa, para siswa (terutama Asou-senpai) sangat akrab dengannya. Mungkin
dia yang jujur tentang
bekerja hanya untuk mendapatkan bayaran membuatnya sangat populer.
“…Nfufu♪
aku akan. Datang. Dan. Menemukan. Mu ~”
Asou-senpai,
yang mendapat persetujuan dari Arakusa-sensei, berjalan ke arah Hoshibe-senpai,
yang sedang memainkan ponselnya sambil rebahan di sofa untuk tamu, dan duduk di
sebelahnya.
“Senpai? Aku ingin kau mengajariku
cara belajar untuk ujian lagi ~ ”
Hoshibe-senpai
melirik Asou-senpai saat bahu mereka bersentuhan, dan dia berkata,
"Ah? Aku
sudah pernah mengajarimu caranya sebelumnya. Itu sudah cukup.”
Dia
meletakkan ponsel yang dia mainkan dan menyampirkan tasnya di bahunya,
"Sampai
jumpa. Semoga berhasil dalam ujian kalian~.”
Dia
berjalan keluar dari ruang OSIS.
Asou-senpai,
ditinggalkan sendirian di sofa, tetap di sana sambil menyentuh kehampaan,
“…Kenapa kau tidak punya sedikitpun
motif tersembunyi!?”
Begitu
tubuh besar Hoshibe-senpai menghilang di balik pintu, Asou-senpai menangis patah
hati.
Master
benar-benar master, mengingat bagaimana dia tidak akan membiarkan insiden
seperti itu menghentikannya.
Sementara
Asuhain-san menghela nafas dengan jijik, Ketua Kurenai meletakkan tangannya di
bahu Master Asou.
"Haruskah
aku mengajarimu, Aisa?"
Asou-senpai
melihat ke belakang dengan cemberut.
“Kau…kau terlalu pintar untukku,
Suzurin. Aku tidak akan bisa mengerti apa yang kau katakan.”
“Aku yakin nilai rata-ratamu naik
15 terakhir kali.”
“Mari kita luruskan
sesuatu! Aku tidak ingin diajari olehmu karena kau tidak keren!”
Ketua
mengangkat bahu dengan senyum masam. Katanya orang yang benar-benar pintar
pandai mengajari. Kupikir aku akan memintanya untuk mengajariku sedikit.
Jadi
aku berpikir begitu, dan kemudian aku melihat Asuhain-san diam-diam melirik
Ketua Kurenai.
Aku
tersenyum dan berkata.
“Asuhain-san, kenapa kau tidak
memintanya untuk mengajarimu?”
"Apa? …T-tidak,
kurasa tidak ada artinya jika aku tidak berusaha sendiri.”
Ketua
Kurenai melihat ke belakang,
“Kupikir salah satu dari keahlian
yang harus kalian miliki adalah kemampuan untuk meminta bantuan. Lihat,
begitulah cara Aisa hidup.”
“Apakah kau menyebutku gadis Rafflesia
parasit!?”
[TL
Note: Padma raksasa (Rafflesia arnoldi) adalah tumbuhan parasit obligat yang
terkenal karena memiliki bunga berukuran sangat besar, bahkan merupakan bunga
terbesar di dunia.]
"Apakah
banyak orang yang menyebutmu begitu?"
Meski
begitu, mata besar Asuhain-san dipenuhi dengan keraguan. Namun kembali
tenang, dan kemudian dia menutup matanya dan membukanya lagi.
"…Tidak. Aku
akan berusaha sendiri.”
Dia
kemudian melihat ke arahku, yang duduk di seberangnya, dengan tatapan tajam.
“Dan kali ini…! Irido-san,
aku akan berada di atasmu.”
Matanya
bersinar dengan tekad yang kuat. Dia tidak boleh kalah. Dia tidak
ingin berkompromi tentang itu. Begitulah tekad di matanya.
Kurasa
aku juga melihat Mizuto seperti itu dulu.
Biasanya,
aku akan membiarkannya berlalu dengan jawaban tidak peduli, tapi Asuhain-san
mempertaruhkan harga dirinya pada pertarungan ini. Dengan mengingat hal
itu, aku tahu aku harus memberikan jawaban yang tepat.
Jadi,
untuk pertama kalinya, aku menghadapi tekadnya secara langsung.
"Ya. Aku
akan menghadapimu. ”
Belajar kelompok daring (Yume Irido)
Meskipun
aku mengatakan itu, aku memiliki keuntungan besar.
Ya—aku mendapat keuntungan tinggal seatap
dengan orang yang juga bersaing untuk mendapatkan pertama atas.
Sampai
saat ini, kami belajar secara terpisah karena kami sangat keras kepala, kecuali
saat kami mengajari Higashira-san dan Kawanami-kun.
Tapi
sekarang!
Aku
teringat. Aku ingat saat-saat manis ketika kami belajar bersama saat masih
pacaran. Aku ingat saat-saat ketika kami tidak bisa melihat buku pelajaran
dan buku catatan satu sama lain, namun menikmati menyentuh bahu satu sama lain,
meletakkan tangan kami di lutut satu sama lain, dan menikmati sedikit kontak
tubuh!
Secara
alami, nilai kami turun.
Tapi
aku bukan lagi orang yang sama seperti dulu. Aku tidak lagi berkepala
panas seperti dulu, dan aku telah belajar bagaimana caranya mengendalikan
diri! Sekarang! Aku mampu menggabungkan kecerdasanku yang menduduki
peringkat teratas dan sedikit menggodanya!
—Atau begitulah menurutku.
"Yo. Apakah keliatan? ”
"Aku melihatmu. Apa-apaan rambut itu?”
“Wah,
terlihat datar. Kau terlihat sama mengerikannya dengan berandalan kuno. ”
"Diam! Aku baru saja keluar dari kamar
mandi! Jadi rambutku begini!”
Ada
empat wajah di layar kecil smartphone, Akatsuki-san, Kawanami-kun,
Higashira-san, dan Mizuto—wajah
penyendiri yang kukenal itu ada di salah satu segmen dari layar yang telah
dibagi menjadi empat segmen, sepertinya dia sedang makan es krim dengan sendok.
Kenapa?
Kenapa
kami melakukan ini secara daring padahal kami tinggal serumah?
Tidak,
aku tahu kenapa. Kami mengatakan untuk tidak terlalu sering mengunjungi
kamar satu sama lain saat malam hari, ketika tidak ada orang tua
kami. Selain itu, aku tidak bisa menggoda Mizuto ketika ada Higashira-san,
Akatsuki-san dan Kawanami-kun.
Tetapi! Dia
ada di kamar sebelah! Kenapa dia tampak begitu kecil?
Ini
adalah pertama kalinya aku merasakan kebutuhan akan komputer atau tablet.
Aku
menahan napas saat aku beralih menatap ke layar ponselku,
“Hai semua, semuanya tidak ada masalah? …Hah? Akatsuki-san?”
Akatsuki-san,
yang biasanya sangat berisik, entah kenapa diam. Aku berpikir begitu, tapi
dia tampak menggerakkan mulutnya.
“Akatsuki-san! Aku tidak bisa
mendengarmu!”
Akatsuki-san,
yang rambutnya tergerai karena dia sekarang dalam mode off, memiringkan
kepalanya dan mengerutkan keningnya. Dia dengan enggan mengulurkan
tangannya ke layar, dan layarnya mulai bergoyang.
“Oy jangan digoyang jangan digoyang! Apa
kau ini gadis era Showa?! ...Ya ampun, aku tidak punya pilihan kalau
begitu. Tunggu sebentar, aku ke sana.”
[TL Note: Era Showa kalau gak salah itu sebelum
tahun 2000-an jadi di sini maksudnya gaptek.]
Kata
Kawanami dan mematikan layar. Layar dibagi menjadi tiga, dan tiga wajah
dari ketiganya menjadi sedikit lebih besar.
“Bukankah
mereka tinggal bersebelahan? Dia pria yang cukup sembrono untuk pergi ke
tempat seorang gadis pada waktu selarut ini. ”
“Aku
merasa kasihan padanya karena dia terlihat sangat gelisah.”
"…Apa maksudmu? Mereka kan tetangga.”
“Dalam
lebih dari satu cara.”
Ngh~~…! Tebak
siapa yang gelisah di sini!
…Tapi,
tunggu, jika aku berpura-pura kalau peralatanku bermasalah, bukankah mau tidak
mau Mizuto akan datang ke kamarku…?
Mataku
tertuju pada tombol mute mikrofon. Jika aku…menekan ini…!
Tepat
saat jariku hendak menyentuh tombol terlarang, Kawanami-kun masuk ke layar
Akatsuki-san dari samping, melihat ke layar dan mengulurkan tangannya,
“…Tidak,
lihat, kau mematikan mikrofonnya, tahu?”
“Ah,
kau benar?”
“Kau
benar-benar menyedihkan. Kau seharusnya segera menyadari kesalahan
mendasar ini. Aku bahkan membawa semua bahan belajarku.”
“Ya
ya terima kasih banyak~! Jika terlalu merepotkan untuk kembali, bagaimana
kalau kau belajar di sini? Ada beberapa tempat kosong. Di Lantai.”
"Ada banyak tempat di sini, meja ini misalnya!"
Ini dia, kata Akatsuki-san menendang
Kawanami-kun dari pandangan, dan mendekatkan wajahnya ke layar lagi.
“Maaf
karena menyebabkan masalah bagi kalian semua! “
“Jadi,
Minami-san bersama pria sembrono itu…tolong, dari lubuk hatiku, jangan mulai
melupakan kami di sini.”
"Dia? Mulai apa? “
“Apa
maksudmu dengan apa?”
“Mulai~? Apa~?”
"Maafkan aku…"
Kecabulan
Higashira-san hancur di bawah tekanan Akatsuki-san ...itulah yang membuatku
takut padanya...
“Ngomong-ngomong
Yume-chan! Kau memakai kacamata hari ini!”
“Eh? Ah, ya… aku biasanya
memakai lensa kontak, tapi aku memakai kacamata ketika aku belajar di rumah.”
"Itu sangat imut! Itu benar-benar terasa
seperti mode off!”
“Akatsuki-san, penampilanmu bagus
dengan rambut tergerai. Kau terlihat polos. ”
"Hahaha! Terima kasih!"
Sementara
kami saling memuji, Mizuto menghela nafas kecil.
“Ngomong-ngomong,
Mizuto-kun, kau juga memakai kacamata?”
Kata
Higashira-san. Dia benar, karena Mizuto di layar memakai kacamata.
Mizuto
menyipitkan mata,
“Ini
adalah kacamata anti-blue light. Aku memakainya saat
menggunakan komputer.”
“Fueehh~…terlihat
bagus untukmu. Bolehkah aku mengambil screenshot?
”
"Tidak."
"Kenapa tidak? Kau sangat imut!"
“Itu
agak mengerikan.”
Pada
saat itu, kupikir aku melihat mata Mizuto bergerak. Kami tidak melakukan
kontak mata, tapi aku merasa dia melihat wajahku di layar.
M-mengerikan. …. Memang
benar bahwa aku sedikit menyeramkan ketika aku menyuruhmu memakai kacamata dan
mengambil banyak gambar! Tapi aku tidak bisa menahannya! Ini salahmu
karena begitu keren, oke!? (Mengerikan)
[TL
Note: di volume 1, setelah kencan akuarium.]
“…Mari kita berhenti bicara dan
memulai belajar kelompok kita.”
Aku
berkata, untuk melupakan diriku di masa lalu yang menjijikkan,
“Kau bisa pergi kapan saja jika
kau lelah. Haruskah kita saling mengawasi? ”
"Oke. Oh itu benar. Maki-chan dan
Nasuka-chan mungkin akan bergabung dengan kita. Kawanami, menjauh dari
layar!”
"Apa? Kenapa?"
“Aku
belum memberi tahu mereka bahwa kita bertetangga! Tidak
peka! Seberapa bodohnya kau ini?”
"Itu sakit! Jangan tendang aku!”
Saat
Kawanami mengeluh dari luar layar, Higashira-san mulai mengeluh.
"Aku merasa sakit karena aku jomblo ketika aku
melihat orang-orang saling menggoda di layar ..."
Itu
benar. Aku berharap aku seruangan dengan Mizuto. Itu curang,
Akatsuki-san!
"Mizuto-kun, bisakah aku belajar bersamamu
kapan-kapan?"
"Tidak."
"Woah! Kenapa!?"
“Aku
merasa kau akan mencoba menggodaku. Itu menyeramkan."
"Itu alasan yang cukup detail ..."
Aku
tetap diam melihat bayangan Higashira-san. Aku minta maaf karena telah menggodanya.
Tumbuh melalui pengalaman yang tak terhitung jumlahnya
(Mizuto Irido)
“Funya…”
Isana
yang berada di salah satu layar, tubuhnya bergoyang perlahan dan goyah seperti
perahu.
Melihat
itu, aku mengalihkan pandanganku dari buku pelajaran matematikaku,
“Isana.”
“Fuah…? Aku
masih bangun… haa.”
“Tidurlah jika kau ngantuk. Tidak
ada yang akan masuk ke kepalaku jika kau memaksakan diri untuk belajar. ”
“Nyunyu…”
Bahkan
jawabannya adalah erangan yang tidak bisa dimengerti. Dia benar-benar sudah
mencapai batasnya.
“Woohoo,
kau sangat baik~!♪”
Maki
Sakamizu, teman Yume, bergabung dengan kami tadi saat kami tengah belajar. Aku
masih ingat dia.
Gadis
yang tampak energik dengan potongan rambut pendek menusuk tulang pipinya dengan
pensil mekanik,
“Kau
selalu cemberut, adik laki-laki Irido, jadi kupikir kau akan lebih penyendiri,
tapi ternyata kau sangat baik, ya? Terutama pada Higashira-san♪” .
“Aku hanya terlalu protektif
karena dia lemah. Dan aku bukan adik laki-lakinya.”
“Kudengar
hari ulang tahunmu sama dengan Irido-chan. Itu kebetulan yang hebat, ‘kan?”
Yang
mengatakan itu dengan malas dan sedikit menguap adalah seorang gadis berambut
bob…erm, Kanai…ah, ya, Kanai Nasuka. Aku ingat dia.
Dia
menggunakan jarinya untuk menggosok matanya yang terlihat lebih mengantuk daripada
biasanya,
“Aku
tidak bisa melanjutkan~…Sepertinya aku sudah mencapai batasku. Aku akan
tidur.”
“Eh? Sepertinya
sudah cukup untuk hari ini. Masih ada seminggu lagi!"
Mm! Sakamizu meregangkan tubuhnya. Yume
tersenyum masam dan berkata,
“Kau
bisa mengatakan itu sekarang, tapi kita akan kehabisan waktu sebelum kau
menyadarinya. Kita akan berkumpul lagi besok kalau begitu. ”
"Ya ya. Mengerti~.”
Layar
yang menampilkan Sakamizu dan Kanai menghilang.
Di
sisi lain, Isana sudah terlelap di mejanya di depan kamera.
“Isana, jangan tidur di
sana. Pergilah ke tempat tidur.”
“Myai…”
“Higashira-san? …Tidak
bagus, dia tidak bisa mendengar kita.”
Ya
ampun, tidak ada pilihan lain kalau begitu… Aku membisukan mikrofonku, mengambil
ponselku dan menelepon Isana.
Dan
di layar, Isana meraih ponselnya dengan gerakan semi-otomatis dan menempelkan ponselnya
ke telinganya.
“Fuuaahh…halo,
halo, dan halo…”
“(—Kau tidak boleh mengeluh tentang
apa pun sampai kau tidur di tempat tidur dengan benar sekarang, benar?)”
“Bwoah?”
Di
tengah bisikan kecilku, Isana mendongak dengan kaget.
“(Gadis baik. Matikan layarnya dan
pergi ke tempat tidur.)”
“Y-ya….A-aku
mengerti…”
Terlihat
sangat mengantuk, layar Isana menghilang.
Lalu,
aku berkata melalui ponselku.
"(Selamat
malam.)"
“Hauuaaa—”
Klik. Panggilan berakhir.
"Baiklah."
"Apa yang barusan kau katakan padanya…"
Kata
Yume, setengah ketakutan, setengah jijik. Bukan apa-apa. Aku hanya
menyuruhnya tidur.
Minami-san
meletakkan dagunya di tangannya dan menatapku,
“Irido-kun,
bukankah kau semakin lembut saat memerintahnya? Apakah karena
Higashira-san terlalu lembek?”
“Dia hanya akan mendengarkanku. Yah,
itu satu-satunya cara untuk mengendalikan kelakuannya yang tidak terduga.”
Dan
dia jadi agak senang.
“Jangan
beri makan wanita itu lagi, Irido!”
Yang
muncul di sebelah Minami-san adalah Kawanami, yang diam sejak tadi, selama ada
Sakamizu dan Kanai.
“Dia
semakin serakah sekarang! Dia akan berpura-pura menjadi pacarmu ketika
kalian berdua tidak bersama!”
“Yah, kami sudah melalui itu cukup
lama—tapi
kurasa tidak apa-apa. Isana bukanlah seseorang yang tidak bisa membedakan
antara serius dan guyonan. Selama kita tahu apa yang sebenarnya, tidak
masalah jika orang lain salah paham.”
"Apakah begitu ..."
Minami-san
mendorong wajah Kawanami ke belakang, bergumam dengan nada muram.
“Bagaimana
denganmu, Yume-chan, apakah kau merasa dia telah berubah sejak dia berteman
dengan Higashira-san?”
“Eh? …hmm…
entahlah. Mungkin dia tidak banyak berubah…”
“Eh? Apakah
maksudmu dia memang lembut saat memerintah sejak awal? ”
Yume
melirik ke layar, dia mungkin melirik wajahku,
"…kurasa begitu."
Kau
benar-benar terdengar seperti orang yang tahu segalanya.
Aku
tidak berniat merayumu bahkan saat SMP. Kau hanya terbawa suasana sendiri.
…Jika
tidak, aku tidak akan bertanya-tanya tentang itu.
"Oh? Kalau begitu beri tahu kami,
Irido-san! Kapan dia merayumu—!”
"Ya ya! Kita sudah selesai untuk hari
ini! Aku harus mandi! Sampai ketemu lagi!"
"Ah, dia kabur."
Layar
Yume menghilang. Kawanami lalu menoleh ke arahku,
“Jadi,
Irido, kalau kau…”
"Sampai
jumpa."
“Ah,
oi…”
Aku
menutup telepon… apakah si penonton hubungan orang itu tahu arti dari pepatah “memukul
rumput dan menakut-nakuti ular”?
[TL
Note: idiom cina, 打草惊蛇,
maknanya “tindakanmu membuat musuhmu menjadi waspada”]
Orang yang kau suka itu pasti... (Mizuto Irido)
Setelah
belajar kelompok daring, aku pergi ke ruang tamu membawa buku pelajaranku. Aku
belum selesai membaca apa yang ingin aku baca hari ini, jadi aku memutuskan
untuk istirahat sebelum melanjutkan belajar.
Aku
merebus air dalam ketel listrik dan menyeduh teh kantong. Kudengar bahwa minum
teh di malam hari dapat membuat sulit tidur, aku sudah menjadi makhluk
nokturnal, dan aku tidak pernah ketergantungan dengan kafein.
Aku
duduk di sofa, menyesap teh panas, dan menunggu beberapa saat hingga otakku
menyala lagi. Aku kemudian membuka buku pelajaranku lagi.
Dan
setelah beberapa menit membolak-balik halaman—pintu ruang tamu terbuka.
"Oh. Ada
kau rupanya."
Yume
muncul dengan mengenakan piyamanya. Dia tidak mengenakan kacamata yang dia
kenakan selama belajar kelompok daring, dan rambutnya diikat menjadi dua simpul
yang menggantung di bahunya.
“Ah…”
Aku
menjawab, dan Yume berbalik untuk pergi ke dapur,
"Apakah
kau mau mandi?"
“Untuk apa mandi?”
"Aku
akan mandi sebentar."
"Hmm."
Aku
berkonsentrasi pada buku pelajaran ketika aku mendengar air dituangkan ke dalam
cangkir di belakangku.
Dan
kemudian, buk, sebuah cangkir diletakkan. Langkah kakinya
perlahan mendekat.
"Hai."
Akhirnya
aku mendongak ketika dia memanggilku.
Yume
bersandar di sandaran sofa, mengintip wajahku dari samping.
“Bolehkah aku… belajar bersamamu
di sini sebentar?”
Pada
saat ini, berbagai interpretasi muncul di pikiran..
Pertama,
aku berasumsi dia ingin bertanya kepadaku tentang apa yang aku pelajari untuk
ujian.
Pikiran
keduaku adalah dia ingin melanjutkan belajar kelompok daring yang barusan
selesai.
Dan
yang terakhir, aku memikirkan alasan yang sangat sederhana. Dia hanya
ingin bersamaku tanpa alasan, sama sekali, hanya karena ingin.
"…Aku
tidak keberatan…"
Banyak
pemikiran itu aku rangkum dalam tiga kata itu.
Aku
sangat pandai mengelabuhi orang.
Bibir
Yume tersenyum lega,
"Aku
akan mengambil buku pelajaranku."
Dia
bergegas keluar dari ruang tamu, menaiki tangga, segera kembali ke ruang tamu,
duduk di sebelahku, dan meletakkan buku pelajaran dan alat tulisnya di atas
meja.
Dan
kelompok belajar pun berlanjut.
Ini
tidak seramai tadi. Aku membaca buku pelajaran, dan Yume menjawab soal di
buku catatannya. Tidak ada pertanyaan atau percakapan, hanya ada suara
pensil mekanik yang berpacu, buku pelajaran yang dibalik, dan jam yang terus
berdetak di ruang tamu yang tenang ini.
Beberapa
kali, aku melirik wajah Yume dari samping sementara dia melihat buku
catatannya.
Dia
tidak lagi berusaha terlalu keras seperti saat ujian tengah semester pertama
kami. Wajahnya tenang dan serius saat dia menjawab soal-soal itu.
—Kupikir
orang yang kau suka adalah orang yang paling sering kau lihat wajahnya dari
samping.
Aku
teringat kata-kata Isana.
Saat ini, mau tak mau aku memahami definisi sederhana itu. Aku hanya melihat wajahnya dari samping, tapi aku merasa bahwa aku sedang melakukan sesuatu yang memalukan, dan aku ingin memalingkan muka, tapi ketika aku akan melakukannya, aku berhenti.
Nah,
itu adalah itu.
Aku
jengkel, itu bukan niatku.
…Argh
sial, sudah jelas bahwa bahkan pikiran terdalamku hanyalah tipuan yang
memalukan.
Aku
memperkuat keinginanku dan mengalihkan perhatianku kembali ke buku pelajaran. Ini
bukan saatnya untuk terganggu. Saat itu akan segera tiba setelah ujian
tengah semester selesai—setelah
November dimulai.
Segera,
jarum jam yang pendek menunjuk ke angka 12. Aku harus segera mandi sebelum
semakin dingin—aku
berpikir begitu, dan hendak menutup buku pelajaranku, aku melihat Yume
menatapku.
"…Ada
apa?"
"Ah
tidak…"
Yume menatap wajahku,
“Aku
hanya berpikir… ekspersi wajahmu sama ketika kau belajar dan ketika kau
membaca.”
—Kupikir
orang yang kau suka adalah,
Entah
kenapa aku kembali teringat kata-kata Isana.
Aku
mulai memikirkan berbagai alasan dan interpretasi di kepalaku, tapi segera
berhenti.
Aku
merasa seperti aku akan terluka jika aku mengambil jalan keluar yang mudah.
“…Aku memang membaca buku, jadi tidak
ada bedanya.”
Aku
memberikan jawaban membosankan seperti itu.
Aku akan mandi. Aku berkata
begitu, dan meninggalkan ruang tamu.
…Apakah
aku takut?
Tentu
saja tidak.
Lagi
pula, tidak ada ruang untuk kegagalan kali ini.
Satu-satunya cara untuk hidup (Yume Irido)
Belajar
kelompok daring malam hari lebih efektif daripada yang kuharapkan.
Aku
suka karena waktu belajarnya lebih lama. Saat kami bertemu secara
langsung, kami akhirnya akan bermain, dan akibatnya tidak dapat berkonsentrasi,
tapi saat kami bertemu melalui aplikasi panggilan, hanya ada beberapa hal yang
dapat kami lakukan, dan yang lebih penting, kami tidak dapat menggunakan ponsel
kami, gangguan terbesar bagi kami, saat kami melakukan panggilan
video. Menurut pendapatku, itu sukses besar.
Sepertinya
belajarku berjalan lancar, jadi suatu hari, aku pergi ke ruang OSIS untuk
belajar sepulang sekolah, dan menemukan dua siswa di sana.
"Kerja
bagus…"
Aku
menyapa mereka dengan sopan, tapi tidak ada jawaban.
Itu
wajar, karena kelihatannya keduanya sedang tidur.
Salah
satunya adalah Hoshibe-senpai, yang punggungnya berada di sofa, dengan sebuah
buku pelajaran terbuka menutupi wajahnya.
Sosok
lainnya mengejutkanku.
Asuhain-san
sedang tertidur dengan wajah menempel di meja pertemuan.
Aku
mendekat dan mengintip ke wajah Asuhain-san. Dia sedang tidur nyenyak
dengan pipi menempel pada buku catatan yang terbuka. Wajahnya imut seperti
anak kucing karena wajahnya cantik alami.
Dia
memegang pensil mekanik di tangan kanannya. Dia ketiduran saat sedang belajar.
Kurasa
dia lelah…kegiatan OSIS dihentikan selama seminggu sebelum ujian, jadi aku
jarang bertemu Asuhain-san. Saat kami beberapa kali berpapasan di lorong, aku
segera melihat betapa lelahnya dia.
Mungkin
dia berusaha terlalu keras. Dia tampak sangat antusias menghadapi tes ini—sungguh, aku bisa melihat diriku
yang dulu dalam dirinya.
Aku
mengambil selimut yang Hoshibe-senpai bawa dari ruang referensi di sebelah, dan
dengan lembut menutupi bahu Asuhain-san.
Aku
akan membiarkannya tidur sebentar.
Aku
kemudian diam-diam menahan napas dan mulai belajar sendiri.
…Sekitar
20 menit kemudian…Bahu Asuhain-san berkedut.
“Nn……”
Asuhain-san
perlahan bangun, dan selimut terlepas dari bahunya. Dia sejenak menatap
selimut di lantai, tampak tercengang.
"Selamat
pagi."
Aku
memanggil Asuhain-san, yang penglihatannya berangsur-angsur semakin jelas, dan
dia melihat buku catatan yang dia gunakan sebagai bantal.
“A-aku…! Apa aku ketiduran?”
"Ya. Kau
tidur nyenyak. ”
“Ah…”
Asuhain-san
mengambil selimut di kakinya, ekspresi wajah bayinya berubah karena penyesalan.
"Apakah
kau yang menyelimutiku ...?"
"Ya. Kau
terlihat lelah, jadi kupikir aku akan membiarkanmu tidur.”
"…Terima
kasih banyak. Tapi… aku lebih suka kalau kau membangunkanku.”
Asuhain-san
melihat ke arah jam dan meringis menyesal.
“Kurasa baru dua puluh menit, atau
setidaknya, sejak aku tiba.”
“Waktu itu sangat berharga bagiku. Tidak
pernah ada cukup waktu bagiku untuk berusaha dan melampauimu, untuk mencapai
puncak.”
Aku
tahu perasaan itu. Saat selama ujian tengah semester pertama, aku berada
di bawah tekanan untuk mempertahankan peringkatku di atas, dan mengurangi jam tidurku
...
Tetapi
peringkat yang kuhargai seolah itu adalah hidupku sendiri tidak sepenting yang kukira,
dan Mizuto mengajariku itu dengan mengambil peringkat teratas dariku ...
“Hei, Asuhain-san… kenapa kau
sangat ingin mengalahkanku?”
Mau
tak mau aku bertanya padanya, karena dia mengingatkanku pada diriku saat itu.
Aku
ingin tetap menempati peringkat pertama untuk melindungi karakterku sebagai
siswa teladan yang memiliki nilai tertinggi, jadi dalam hal ini, kenapa
Asuhain-san mengincar peringkat pertama?
“Karena itu satu-satunya cara.”
Asuhain-san
memegang pensil mekaniknya dengan erat, membolak-balik buku pelajarannya, dan
menjawab dengan singkat.
“Aku… kecil, dan juga lemah dalam
berdebat. Itu sebabnya aku tidak bisa membalas anak laki-laki yang
mengolok-olok namaku, memanggilku pelacur… Jadi yang bisa kulakukan hanyalah
belajar. Satu-satunya cara agar aku bisa membalas mereka adalah dengan
belajar…”
Tangan
Asuhain-san tidak berhenti saat dia terus berbicara. Dia bertindak seolah-olah
itu alami.
“Bahkan ketika aku mendapat nilai 100,
para laki-laki hanya memuji mereka yang cepat atau bagus dalam permainan, dan
mengatakan aku sangat payah. Aku masih ingat rasa frustrasi yang kualami
saat itu.”
“Itukah sebabnya kau masih belajar
dengan keras? Untuk membalas orang-orang itu?”
“…Tidak…Aku sendiri tidak yakin.”
Tapi, Asuhain-san melanjutkan.
“Aku hanya… tidak bisa berhenti. Kupikir
itu adalah satu-satunya caranya, jadi aku harus terus mendapatkan nilai sempurna.”
“…Bagaimana kau bisa bekerja
begitu keras? Kau tidak bisa mendapatkan pengakuan dari orang-orang itu,
jadi kenapa …”
“Tidak—itu pernah terjadi sebelumnya.”
Nadanya
tenang, tapi ada kegembiraan yang mekar dalam suaranya.
"Setelah
aku mendapat nilai sempurna untuk kesekian kalinya ... salah satu anak
laki-laki mengatakan sesuatu... aku ingat itu."
"Apa?"
"Aku
tidak ingat detailnya, tapi kupikir dia berkata, 'Wow~'."
Kata-kata
samar yang dia gunakan “Aku ingat itu” dan “kupikir” menunjukkan seberapa
banyak tabir asap itu.
Dia
ingat kata-kata biasa yang tidak berdampak atau menggerakkan, dan itu
membuktikan bahwa kata-kata itu mengakar kuat di dalam dirinya, meskipun orang
yang mengatakan itu tidak mengingatnya.
Tentunya
Asuhain-san terselamatkan oleh satu kata itu, meskipun itu hanya gumaman yang
tidak masuk akal—sepertinya
dia tidak bisa melupakan momen itu, dan mendorong dirinya untuk terus belajar…
“…Pokoknya, inilah satu-satunya
cara bagiku untuk melawan orang lain. Aku harus menjadi yang terbaik dalam
pelajaran…”
Akhirnya,
Asuhain-san mendongak dan menatapku.
“Dan kemudian—kau muncul, Irido-san.”
Aku
terpesona oleh kekuatan di matanya.
Ketika
aku mendapat peringkat pertama saat ujian masuk dan membaca pidato sebagai
perwakilan siswa baru saat upacara masuk, aku tidak bisa membedakan wajah di
auditorium. Aku hampir tidak bisa membedakan wajah Mizuto, ibuku, dan
paman Mineaki.
Pada
saat itu, wajahnya adalah salah satu yang tampak berbeda.
Dia
menatapku seperti aku ada musuh bebuyutan yang menghalangi jalannya.
"—Itu
omong kosong."
Tiba-tiba,
sebuah suara menyela kami. Hoshibe-senpai bangun, membungkuk di sofa.
Jadi
dia juga sudah bangun. Hoshibe-senpai menghela nafas, meletakkan dagunya
di sandaran sofa dan menatap Asuhain-san.
“Yang harus kulakukan hanyalah
belajar? Sampah—orang
tidak sebodoh itu, kan?”
Alis
Asuhain-san berkedut, dan pensil mekanik di tangannya berhenti bergerak.
Aku
menegang saat melihat dia dipenuhi amarah yang tidak sesuai dengan tubuh
kecilnya. Sebelum aku bisa menghentikannya, Asuhain-san berbalik.
“Jangan ambil kesempatan ini untuk
mengkritik cara hidupku, senpai. Kau tidak mengerti. ”
“Tidak ada orang seperti itu, kau
tahu? Kau tidak mengerti—tugas sekolah hanya untuk siswa sekolah. Apakah kau
berencana untuk tinggal di sekolah selama sisa hidupmu?”
“Jangan salah memahami ini! Aku
mengatakan bahwa ada orang yang hanya bisa hidup dengan fokus pada satu hal!”
“Jadi, apakah kau akan
mengorbankan segalanya untuk itu? Ahhh, begitu, kau bertingkah seperti
seorang protagonis sekarang, kan? ”
Menghadapi
keseriusan Asuhain-san, Hoshibe-senpai tidak peduli.
Dia
bahkan tidak melihat wajahnya lagi; sebenarnya, dia bahkan mengeluarkan
ponselnya dan mulai memainkannya.
"Kau
tahu ... jika kau terus hidup seperti itu, kau akan mati suatu hari
nanti."
"Semua
manusia memang harus mati suatu hari nanti ..."
“Kau tidak mengerti. Kau
benar-benar tidak mengerti. Dengar, aku tahu ini bukan sesuatu yang seharusnya
dikatakan oleh seorang siswa SMA, tapi kupikir jauh lebih baik untuk hidup
tanpa berusaha terlalu keras.”
Hoshibe-senpai
tidak mengabaikan Asuhain-san.
Terlepas
dari sikapnya, aku merasakan emosi dalam kata-katanya sepertinya dia peduli
dengan Asuhain-san.
Namun,
Asuhain-san memanas, dan tidak bisa mengerti niatnya.
“Senpai…! Kau adalah tipe
orang yang bisa tidur siang, tidak perlu berusaha keras, dan dengan mudah
mendapat rekomendasi! Kau tidak mengerti bagaimana orang-orang sepertiku
harus bekerja keras…!”
Meneriakkan
itu, Asuhain-san dengan kasar memasukkan buku catatan dan buku pelajarannya ke
dalam tasnya.
“Asuhai-san!”
Aku
memanggil, tapi Asuhain-san menyampirkan tasnya di bahunya dan buru-buru keluar
dari ruang OSIS.
Aku
menghela nafas dan menatap Hoshibe-senpai, yang sedang sibuk bermain dengan
ponselnya.
“Senpai…Aku mengerti kau mengkhawatirkan
Asuhain-san, tapi kau tidak perlu berbicara seperti itu…”
Hoshibe-senpai
menggaruk kepalanya dengan ringan,
"Apakah
aku mengacaukannya?"
“Kupikir iya. Kau harus
meminta Asou-senpai untuk mengajarimu cara memperlakukan seorang gadis.”
"Yah,
itu hukuman yang cukup berat ..."
Fuuu, Hoshibe-senpai menghela
nafas, dan menatap langit-langit.
“Maaf, Irido. Aku jadi
sedikit panas tanpa alasan yang bagus. ”
"Kau
tidak tampak begitu bagiku ... lagi pula, kenapa?"
“Hmm… kurasa…”
Hoshibe-senpai
bergumam dan membuka dan menutup tangannya yang ada di sandaran.
“Sejujurnya, aku tidak bisa
mengangkat tangan kananku ke atas bahuku.”
“Eh?”
"Apakah
kau mengerti apa maksudku kata-kataku itu?"
Hoshibe-senpai
tidak melihat ke arahku. Aku juga tidak melihat apapun di wajahnya.
Tapi
kupikir aku mengerti.
Dia
selalu menyendiri dan sulit dipahami, selalu tidur siang dan tidak bersemangat. Namun,
baik Ketua Kurenai maupun Asou-senpai tampak menghormatinya, dan mengingat
betapa kokoh fisiknya, sepertinya dia terlibat dalam sesuatu sebelumnya.
Aku
merasa bahwa aku bisa memahami Senpai sedikit lebih baik.
“Tolong awasi Asuhain, Irido.”
"Aku…?"
"Tidak
ada kata-kata bijak yang berguna kecuali jika keluar dari mulut orang yang
tepat."
Dan
akhirnya, Hoshibe-senpai menatapku sebentar.
Aku yakin kau akan mengawasiku (Yume Irido)
“Yume~, Mizuto-kun~, kami mau
tidur~.”
"Jangan
memaksakan diri terlalu keras, kalian berdua."
“Ya~!”
Ibu
dan Paman Mineaki pergi dari ruang tamu ke kamar mereka. Mizuto ada di
sebelahku, mengacungkan tinju ke arah mereka sementara matanya tetap tertuju
pada buku pelajarannya.
Setelah
belajar kelompok daring malam kami, Mizuto dan aku berkumpul di ruang tamu untuk
melanjutkan belajar.
Akan
menimbulkan kesalahpahaman yang aneh jika kami berkumpul di salah satu kamar
kami, tapi ibu dan paman Mineaki bisa melihat kami di ruang tamu, dan tidak
perlu khawatir tentang hal lain jika kami hanya belajar. Aku sebenarnya
tidak membahas ini dengan Mizuto, tapi kami menghabiskan malam bersama
seolah-olah kami memanfaatkan celah.
Saat
semester pertama, aku terlalu sibuk untuk belajar. Saat ini, meskipun
Mizuto berada tepat di sebelahku, aku tidak memperhatikannya seperti yang
seharusnya—bahkan,
aku merasa lebih tenang dan santai.
Aku
bisa melihat meja dengan lebih nyaman dibandingkan sebelumnya. Mungkin
inilah alasan kenapa belajarku berjalan lebih baik.
...Aku
ingin tahu apakah Asuhain-san memaksakan dirinya untuk belajar keras hari ini?
Tidak ada kata-kata bijak yang berguna kecuali jika itu keluar
dari mulut orang yang tepat— aku mengingat apa yang dikatakan Hoshibe-senpai
kepadaku. Memang benar bahwa aku saat itu seperti Asuhain-san; Aku
memaksakan diri belajar keras untuk ujian tengah semester pertama, kalah dari
Mizuto, dan turun ke peringkat kedua. Aku mendapatkan kembali peringkat
pertama saat akhir semester, tapi aku tidak berusaha keras seperti yang kulakukan
saat ujian tengah semester.
Meski
begitu, jika aku menyuruhnya untuk santai sepertiku, itu akan terdengar seperti
nasihat yang sombong…
Apa
yang dapat kulakukan?
Dia
sangat terobsesi untuk bekerja keras. Apa yang bisa aku, yang membuat
kesalahan yang sama sepertinya, lakukan dalam hal ini ...?
"Tanganmu."
Mizuto
tiba-tiba berkata.
“Berhenti.”
“Eh?… Ahh.”
Sepertinya
tanganku berhenti bergerak saat aku tenggelam dalam pikiranku.
Mizuto
memalingkan muka dari buku pelajaran, dan menoleh ke arah wajahku,
"Ada
apa?"
"Nn...tidak
ada, aku tidak apa-apa."
"Jadi
OSIS?"
Bagaimana
dia bisa tahu? Yah, jika itu adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat
Mizuto, dia akan secara alami mempersempit ke arah sana.
“Ya… tentang seseorang di OSIS,
tapi…”
“Itu bagus kau punya waktu untuk
mengkhawatirkan orang lain..”
“Ini berkatmu.”
Aku
terkikik saat aku membalas. Mungkin, pikirku.
Tidak
ada alasan untuk itu. Tindakannya tidak menunjukkan apa-apa.
Namun—aku merasa dia sedang menungguku
untuk bicara padanya.
“…Jika kau cukup bebas untuk
mendengarkanku.”
"Aku
lima kali lebih santuy daripada kau."
"Bisakah
aku berbicara denganmu tentang sesuatu? ... Aku sedikit bingung tentang sesuatu
itu sekarang."
Mizuto
dalam diam mengalihkan perhatiannya kembali ke buku pelajarannya. Dia bisa
terus belajar jika yang harus dia lakukan hanyalah mendengarkan, atau begitulah
pikirku berdasarkan tindakannya.
Aku
memberitahunya secara singkat tentang apa yang terjadi di ruang OSIS hari ini,
tentang kondisi Asuhain-san, dan pendapat Hoshibe-senpai.
Dan
begitu aku selesai, Mizuto berkata singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari
buku pelajarannya.
“Aku setuju dengan pendapat mantan
ketua. Lebih baik hidup tanpa berusaha terlalu keras daripada mati karena
terlalu banyak bekerja. Kupikir itu kata-kata yang bagus.”
“Ya…aku juga berpikir itu kata-kata
yang bagus.”
“Jika kau memiliki sesuatu untuk dipijak,
itu berarti bahwa ketika itu hilang, kau tidak akan bisa bertahan. Kau berusaha
begitu keras saat semester pertama. Aku tidak berpikir itu cara hidup yang
bagus.”
Dengan
kalah dari Mizuto, aku sadar bahwa teman-temanku tidak akan meninggalkanku
hanya karena aku kalah dan tidak memperoleh peringkat teratas. Aku tidak
lagi berpegangan pada satu pijakan dan menemukan bahwa ada banyak tanah untuk
dipijak.
Tapi—
“Tapi itu jika kita hanya
berbicara tentang efisiensi. Ini tidak akan bekerja untuk orang-orang yang
bersemangat dengan minatnya. Bukankah itu terdengar seperti instruksi
video game bagi mereka?”
"Sepertinya
begitu. Memang, kau benar … tidak peduli seberapa benar itu, tidak ada
gunanya jika kata-kata itu tidak didengar.”
“Aku ingat ketika aku memutuskan ke
mana aku akan melanjutkan sekolah. Sekolah kita saat itu tidak memiliki
catatan yang bagus untuk siswa yang ingin mendapatkan beasiswa khusus, jadi
wali kelas kita sangat ragu dan aku disuruh untuk mempertimbangkannya kembali.”
"Ah! Aku
memiliki pengalaman yang sama! Saat itu aku berpikir 'Aku tidak
peduli!'. Kupikir jika aku tidak masuk ke Rakurou, aku akan berakhir se-SMA
denganmu.”
“Bagaimana malah terjadi
sebaliknya benar-benar tidak terduga.”
Kuku, Mizuto terkekeh
pelan. Aku merasa sangat putus asa saat itu ketika aku tahu bahwa aku
akhirnya se-SMA dengan Mizuto, tapi di sisi lain, itu adalah cerita yang lucu.
“Saat itu aku berpikir. Kita adalah
satu-satunya orang yang yakin akan keberhasilan kita, dan semua orang di sekitar
kita hanya menghawatirkan kegagalan kita. Tidak mungkin untuk mengetahui
apa hasilnya sampai kita membuka tutupnya. Kau mungkin berkecil hati
karena kehilangan apa yang kau pijak, tapi kau tidak dapat menyangkal
kemungkinan bahwa anak itu cukup gila hingga tidak tahu bagaimana caranya
berkecil hati.”
"Orang
gila ... Apakah kau pernah bertemu orang seperti itu?"
"Isana
Higashira."
…Ah. Aku
mengerti saat itu. Dia tidak berkecil hati sama sekali ketika Mizuto
menolaknya…
“Pada akhirnya… Setiap orang dilahirkan
berbeda, kurasa.”
Setiap
orang memiliki cara hidupnya sendiri, setiap orang berbeda, dan setiap orang tidak
masalah dengan itu—jadi
kenapa aku harus ikut campur?
“Itu membuatku merasa… kesepian.”
Sepertinya
dia mengatakan padaku bahwa aku tidak bisa memahami orang lain.
Tidak
peduli seberapa besar aku merasa bahwa orang dapat saling memahami, faktanya
setiap orang pasti berbeda, dan pada dasarnya tidak mungkin untuk memahami satu
sama lain … begitu katanya.
Mizuto
terdiam beberapa saat, lalu dia menunjuk buku catatanku.
"Kalau
begitu, kau harus belajar untuk saat ini."
“Eh?”
“Buka saja tutupnya. Lakukan
yang terbaik. Kau akan melihat mana yang benar…dan kemudian kau akan
mengerti.”
Itu
adalah jawaban yang sederhana, tidak seperti Mizuto yang biasanya.
Tidak…mungkin
itu jawaban yang benar-benar seperti Mizuto.
Mizuto
sudah biasa menghabiskan begitu banyak logika untuk mendapatkan jawaban
sederhana—mungkin
benar.
Untuk
Asuhain-san, aku yakin dia hanya bisa membuktikan dirinya benar dengan
mengalahkanku.
Itu
sebabnya aku harus terus menghentikannya, menghentikannya—dan kemudian suatu hari, ketika
dia akan pingsan dan mengingat tindakannya, kata-kataku akhirnya akan sampai
padanya.
Sampai
saat itu, aku hanya akan mengawasinya sebagai teman.
Kedengarannya
membuat frustrasi—tapi
mungkin hanya itu yang bisa kami lakukan untuk menghadapi raison d'etre
orang.
[TL
Note: raison d'etre, dari bahasa Perancis, artinya pembenaran.]
“Jika terlalu sulit, beri tahu aku. Aku
akan menjaga kursi teratas untukmu. ”
Aku
membalas kembali kata-katanya yang menjengkelkan dengan sekuat tenaga.
“Jangan khawatir tentang
itu. Kau tampaknya lebih nyaman di peringkat kedua. ”
“Hmph.”
Aku
punya firasat alasan kenapa aku merasa lebih aman di dekatnya dibandingkan
sebelumnya.
Saat
aku mengawasi Asuhain-san, dia mengawasiku.
Metode belajar bagaimana untuk hidup (Yume Irido)
Saatnya
ujian tengah semester dua.
Ternyata,
aku bisa melewati tes selama dua hari dengan baik, dan meskipun aku tidak tahu
tentang Mizuto, tidak ada peserta kelompok belajar daring yang terlihat putus
asa, sepertinya kami semua bisa mengerjakan tes dengan baik.
Masalahnya
adalah Asuhain-san.
Setelah
ujian tengah semester, aku bertemu Asuhain-san di ruang OSIS, di mana semua
anggota berkumpul untuk pertama kalinya setelah cukup lama.
“Aku merasa lega.”
Asuhain-san
menatapku dengan senyum percaya diri, dadanya naik turun di tubuh kecilnya.
“Aku merasa aku sudah melakukan
yang terbaik kali ini. Tidak ada pertanyaan yang menyulitkanku. Irido-san,
sepertinya pemerintahanmu akan berakhir.”
Dan
begitu dia menyatakan itu dengan percaya diri, Asou-senpai yang mendengarnya
bergabung dalam percakapan,
“Terasa seperti kalimat yang akan
dikatakan oleh seorang pecundang.”
"Senpai,
tolong jangan campurkan antara fiksi dan kenyataan!"
"Lagipula—!"
Asou-senpai
berbicara seperti anak kecil sambil makan puding dari toserba. Dia
menghadiahi dirinya sendiri karena menyelesaikan tes.
Aku
melihat ekspresi percaya dirinya,
"Jika
kau begitu percaya diri, bagaimana kalau kita taruhan?"
Aku
memutuskan untuk menjalankan rencana yang telah kupikirkan.
Asuhain-san
kelihatannya tetap tidak terganggu saat dia mendengus.
"Oke? Jika
aku kalah, aku akan melakukan apapun untukmu!”
"Hmm? 'apapun'
katamu!? ”
“Aisa. Baca suasananya.”
Sementara
Asou-senpai mencondongkan tubuh ke depan, Ketua Kurenai memegangi tubuhnya dari
belakang.
“Sebagai gantinya, Irido-san, apa
yang akan kau lakukan untukku jika kau kalah?”
“Mari kita lihat…bagaimana kalau
aku menunjukkan buku catatan dan buku pelajaranku? Kupikir itu akan sangat
berguna untukmu. ”
"…Jadi
begitu. Jadi kau akan menunjukkan senjatamu. Sepertinya
bagus. Bahkan sebagai musuh, mungkin ada sesuatu yang bisa aku pelajari
darimu. Jadi, yang kalah harus menunjukkan buku catatan dan buku
pelajarannya, ya?”
"Tidak. Jika
aku menang, Asuhain-san, kau harus tidur tepat delapan jam sehari.”
Saat
aku menyatakan itu, keheningan menimpa ruang OSIS.
Asou-senpai
memiringkan kepalanya dengan bingung.
“…Eh? Itu? Itu
normal."
Ya. Itu
normal.
Normal.
"B-Beraninya
kau!"
Asuhain-san
mundur selangkah dan menatapku dengan ngeri.
"Delapan
jam…! Kau ingin aku membuang waktuku!? Apa kau berniat merampok waktu
belajarku!? Sehingga kau dapat menjaga peringkatmu…! Itu
tercela! Itu sangat hina!
"Hah? …Tidak,
tunggu sebentar Ranran? Berapa jam biasanya kau tidur?”
"Krang
lebih empat jam!"
Mulut
Asou-senpai menganga terbuka pada jawabannya yang tak terduga.
"Empat
jam? Setiap hari? Serius? Kau akan mati!"
“Jangan khawatirkan itu. Aku
tipe orang yang tidur sebentar.”
…Apakah
begitu?
Apakah
tipe orang yang tidur sebentar benar-benar bisa tidur nyenyak?
Untuk
saat ini, aku akan mengikutinya.
"Begitulah
maksudku. Ini akan berlanjut sampai tes berikutnya. Kita akan
bertaruh lagi, dan jika aku menang lagi, kau harus tidur delapan jam setiap
hari lagi sampai tes berikutnya. Itu berarti empat jam waktu belajar
hilang setiap hari. Aku akan memastikan peringkat pertama untukku!”
“…Aku terima, aku akan
menang. Rencana pengecutmu tidak akan pernah terjadi. Siapkan buku catatanmu!”
+×+×+×+
Aku
peringkat pertama.
“…Kuu…kuuu…nnn~…”
Sepulang
sekolah, pada hari pengumuman peringkat ujian tengah semester—Asou-senpai, Ketua Kurenai dan
aku mengintip Asuhain-san, yang sedang tidur nyenyak di sofa di ruang OSIS.
Asou-senpai
menyentuh dan menyodok wajah tidurnya yang menggemaskan menggunakan jarinya,
“Woah~ ini membuatku kaget~…
kupikir dia pingsan karena melihat peringkatnya.”
“Mungkin ketegangan yang
menahannya telah hilang. Kurasa kelelahan telah mengalahkannya. ”
Mengatakan
itu, Ketua Kurenai diam-diam menutupi Asuhain-san dengan selimut.
Aku
peringkat pertama, Mizuto peringkat kedua, dan Asuhain-san peringkat ketiga
lagi. Ada jarak nilai sekitar 10 antara peringkat kedua dan ketiga, dan
kurasa itu bukan kebetulan.
Menurut
Mizuto—“Kurang
tidur pada dasarnya akan melumpuhkan otak seseorang.”
Ya
ampun. Tidak mungkin kami akan kalah dari seseorang yang melemahkan
dirinya sendiri.
“Delapan jam sehari. Kuharap kau
dapat mematuhi itu ... "
"Dia
akan mematuhinya. Benarkan, Jo?”
Ketua
mengarahkan pembicaraan ke tempat lain, dan Haba-senpai melihat kami dari meja pertemuan,
menegaskan.
Haba-senpai
selalu berada di belakang dan jarang berbicara, tapi mungkin dia juga
mengkhawatirkan Asuhain-san yang terlalu memaksakan diri. Menurut Ketua,
dia adalah seorang yang paling memperhatikan orang lain daripada siapapun.
“Bukankah Ranran tidak bisa tumbuh
lebih tinggi karena dia kurang tidur? Kau tahu, mereka mengatakan bahwa
anak-anak yang tidur nyenyak akan tumbuh besar.”
"Jadi
begitu. Jika memang benar…mungkin itu sebabnya aku tidak bisa tumbuh jadi
lebih tinggi. Ini meresahkan.”
“Eh? …Ketua, berapa jam
biasanya kau tidur?”
"Tiga
jam. Aku tipe orang yang tidur sebentar.”
Begitu
Ketua Kurenai berkata begitu, Asou-senpai dan aku menatapnya dengan
dingin. Wajahnya tidak terlihat lelah sama sekali, dan sebaliknya, dia
terlihat lebih sehat daripada orang normal. Apakah dia Napoleon atau apa!?
[TL
Note: saya gak tahu kisahnya Napoleon ini gimana, kalau ada yang tahu tolong komentar
ya.]
Seperti
yang Mizuto katakan, memang ada banyak jenis orang di luar sana, termasuk orang
yang gila.
…Tapi
jika seseorang salah mengira bahwa dia adalah salah satu dari mereka, dia akan
berakhir dengan umurnya yang habis tanpa alasan. Setiap orang memiliki
cara hidup yang unik, tetapi tubuh tidak akan mengikuti kehendak.
"…Oh. Apa,
apa kita akan menguburnya hari ini?”
Sementara
kami bertiga mengamati Asuhain-san yang tidur nyenyak, Hoshibe-senpai datang.
Begitu
dia melihat kouhainya tidur nyenyak di sofa yang selalu dia gunakan sebagai
tempat tidur, dia tampak sedikit malu, tapi dia menghela nafas lega.
“Kau melakukannya, ya, Irido?”
"Aku
tidak tahu. Kurasa itu tergantung Asuhain-san apakah kata-katamu akan
sampai padanya, Senpai. ”
“Yah… kurasa begitu.”
Hoshibe-senpai
adalah orang yang mengatakan padaku 'awasi Asuhain'. Seperti yang dia
katakan, aku memutuskan untuk mengawasinya.
“Hah~?”
Mendengar
percakapan kami, Asou-senpai menyeringai dan mendekati Hoshibe-senpai.
“Mungkinkah kau terlibat,
Senpai? Kau pasti membuat Ranran kesal, ‘kan? Kau sebenarnya bukan
tipe yang banyak bicara, tapi kau membuat pengecualian untuk kouhaimu, Senpai!”
"Diam…! Jika
aku tidak terlibat dalam hal-hal seperti itu sesekali, aku hanya akan menjadi bocah
tua yang mengganggu!
"Tapi
itu benar, ‘kan?"
"Kau
pikir tidak, Senpai?"
"Jadilah
sedikit lebih peka, kalian tahun kedua!"
Menghadapi
godaan itu, Hoshibe-senpai masuk ke dalam ruangan dan meletakkan kantong kertas
di atas meja di depan sofa.
"Apa
itu?"
tanyaku,
dan Hoshibe-senpai membuang muka dengan canggung,
“…Ini adalah permintaan maafku
karena telah bersikap kasar. Tolong berikan pada Asuhain.”
“Eh~? Apa isinya, Senpai?”
“Dorayaki. Siapa yang tidak
suka pasta kacang merah?”
“…Tidak, ada orang yang tidak suka
itu, Senpai.”
"Hah? Kau
bercanda , ‘kan?"
"Aku
sebenarnya tidak ingin mengatakannya padamu, tapi adik tiriku tidak suka pasta
kacang ..."
Saat
aku memberinya contoh nyata, ekspresi Hoshibe-senpai tiba-tiba berubah menjadi
bingung.
Kemudian
Asou-senpai, menatapku, melanjutkan godaannya,
“Senpai…kau benar-benar~~~~~~
tidak peka, ya?”
“…Argh sial! Tidak masalah! Jika
tidak berhasil, kalian bisa memakannya! Aku akan membelikannya sesuatu
yang lain!”
“Ah~, kau ngambek~”
Menangkis
tatapan Asou-senpai, Hoshibe-senpai dengan cepat meninggalkan ruang OSIS.
Bahkan
jika Asuhain-san mengabaikan perjanjiannya dan mencoba memaksakan diri terlalu
keras lagi, para senpai yang baik ini pasti akan menegurnya.
Pengulangan
itu akan mengajarinya betapa sia-sianya memaksakan diri. Bahkan jika itu
satu-satunya cara Asuhain-san hidup, dia setidaknya bisa belajar bagaimana
tidak memaksakan diri.
Tidak
peduli seberapa keras Asuhain-san menolak, orang-orang ini–dan aku tidak akan melepaskannya.
Karena
kami semua menyukai gadis serius, keras kepala, dan menggemaskan ini.
…Ngomong-ngomong,
pasta kacang merah adalah makanan favorit Asuhain-san.
Harus
kukatakan bahwa cara Asuhain-san mengunyah dorayaki seperti binatang kecil
sangat menggemaskan.
Hanya dalam dua kata (Yume Irido)
Malam
itu.
Aku
merasa karena aku berkonsultasi dengannya sebelumnya, aku memiliki kewajiban
untuk melapor ke Mizuto, jadi aku melakukannya.
Mizuto,
yang telah mengganti buku yang dia baca dari buku pelajaran ke novel,
mendengarkanku sampai akhir, dan berkata,
"Jadi
begitu."
Katanya.
Aku
tidak berharap dia memujiku, atau mengatakan komentar panjang kali
lebar, jawabannya seperti yang kuharapkan.
…Hoshibe-senpai
menunjukku, tapi orang lain juga bisa mengawasi Asuhain-san, bukan hanya aku.
Asou-senpai,
yang sudah lama mengenal Asuhain-san, mungkin telah memaksanya untuk
tidur. Haba-senpai, yang memiliki kemampuan pengamatan yang bagus, bisa
menyelesaikan masalah melalui Ketua Kurenai.
Aku
yakin bahwa aku tidak akan melakukan taruhan itu jika aku tidak berkonsultasi
dengan Mizuto. Jika aku menang, Asuhain-san tidak akan berlebihan dalam
belajar, mendorong dirinya lebih keras sampai dia pingsan.
Setelah
berpikir begitu…Aku merasa sedikit senang dalam beberapa hal…tapi kurasa…itu
karena aku mendapat dukungan.
Aku
sadar bahwa aku masih mengandalkan Mizuto untuk…
"…Hei—"
Terima kasih.
Aku
baru saja akan mengatakan itu pada Mizuto, yang terus melihat novelnya, dan aku
menelan kata-kataku.
Aku
bertanya-tanya apakah aku bisa membuatnya begitu sederhana.
Bisakah
aku benar-benar mengungkapkan perasaanku hanya dalam dua kata?
Jadi
aku berpikir, dan aku kemudian mendapat ide.
“Hei… aku ingin kau mengosongkan
jadwalmu untuk satu hari.”
Mizuto
akhirnya mendongak dari novelnya.
Aku
telah memikirkan tenang hari itu.
Sebelum
ujian tengah semester, sebelum festival olahraga...tidak, jauh sebelum itu.
"…Kapan?"
"…Liburan
selanjutnya."
Mata
Mizuto sedikit melebar.
Itu
adalah hari yang spesial bagiku dan Mizuto.
Itu
mungkin lebih dari sekadar liburan bahkan untuk ibu dan Paman Mineaki, untuk
semua orang di keluarga Irido.
Haru
libur pertama di bulan November.
3
November,
“—Kosong jadwalmu untuk ulang tahun kita. ”
[TL Note: Mungkin ada yang lupa, waktu kelahiran Mizuto dan Yume cuma beda 32 menit, atau 34 (?).]
➖➖➖➖
Translator:
Janaka
Up teros min
ReplyDelete