Bab 2
“Kuharap aku datang
ke tempat yang benar…” bisikku pada diriku sendiri.
Ada antrean panjang
di depan karaoke Akihabara itu, penuh dengan anak perempuan dan laki-laki yang
terlihat lebih tua dariku. Banyak dari
mereka yang saling mengobrol satu sama lain, dan aku sadar bahwa kebanyakan
orang mungkin membawa teman. Aku datang
sendirian jadi aku mulai mempertimbangkan untuk mencari alasan untuk pulang,
tetapi aku ingat bahwa aku tidak boleh mundur hari ini.
Jadi aku, Kagetora
Ichigaya, ikut mengantre juga.
Acara yang akan aku
hadiri disebut “Otaku Meetup & Matchmaking Party.” Alasan aku pergi ke sana sudah jelas karena
aku ingin pacar otaku.
Aku menjadi seorang
otaku sejak SD, sejak saat itu, hanya aku hanya tertarik pada gadis-gadis
fiksi. Namun, saat SMP, aku mulai banyak
menonton anime romcom dan, karena itu, aku mulai berharap punya pacar
sungguhan. Tentu saja, aku tidak bisa berkencan
dengan siapa pun. Dia juga harus seorang
otaku.
Jika aku seorang
otaku kasual, hanya menonton anime sesekali, pacar seperti apa pun tidak akan
menjadi masalah. Tapi seseorang
sepertiku, yang menghabiskan banyak waktu dan uang untuk gacha dalam game dan
pernak-pernik anime, butuh pacar yang bisa menandingi level otakuku.
Kemudian kami bisa
menonton anime bersama, bersenang-senang karaoke bersama, dan mungkin dia
bahkan mau ber-cosplay karakter favoritku untukku. Itu sebabnya aku butuh pacar otaku.
Sayangnya, tidak ada
orang yang sesuai dengan kriteria pacar idamanku di sekolahku. Gadis-gadis di klub manga sebenarnya bukan
tipeku, dan mereka mungkin tidak menyukai hal yang sama denganku.
Aku menyukai
karya-karya yang penuh dengan gadis-gadis imut, tetapi mereka lebih menyukai
anime dengan cowok-cowok keren, Boys' Love (iyuh), dan game-game gacha
girly. Aku tidak menguping pembicaraan
mereka, mereka selalu berbicara dengan sangat keras hingga aku terpaksa
mendengarkan.
Karena situasi di
sekolah seperti itu, aku mencari cara lain untuk menemukan pacar idealku di
internet. Begitulah caraku tahu tentang
“Otaku Meetup & Matchmaking Party.”
Diselenggarakan oleh
sebuah perusahaan perjodohan, itu adalah acara di mana otaku bisa mencari teman
dan pacar dengan minat yang sama.
Anak-anak di bawah umur biasanya tidak bisa mengikuti kegiatan semacam
ini, tetapi tidak ada alkohol yang disajikan, jadi tidak ada batasan usia.
Pesta akan diadakan
di ruang karaoke besar dengan prasmanan, di mana semua peserta bisa mengambil
minuman sepuasnya. Membaca tentang itu, aku
menjadi sangat bersemangat untuk ikut.
Jika memungkinkan, aku
ingin seseorang yang kukenal ikut bersamaku, tetapi satu-satunya teman otaku-ku
di sekolah mengatakan dia tidak tertarik, jadi aku harus pergi sendiri.
Ini adalah
kesempatan besar bagiku. Tidak ada waktu
untuk takut! Aku berjanji pada diri
sendiri bahwa aku akan menemukan gadis otaku yang ideal dan mendapatkan nomor
kontaknya! Aku mengepalkan tinjuku
dan mengumpulkan semua keberanianku.
Saat giliranku masuk ke
ruangan, petugas memanggilku.
"Halo! Biarkan saya memeriksa reservasi Anda. Satu laki-laki, tidak ada perempuan. Benar?"
Aku membayar biaya
masuk tiga ribu yen dan menerima label nama.
Nama yang kutulis di atasnya adalah panggilanku selama acara ini. Apa yang harus kuilih?
Setelah berpikir
sejenak, aku menulis username yang aku gunakan dalam sebuah game online,
ShadowTiger, dan menyematkan label itu di dadaku.
Aku terlalu gugup
untuk memperhatikan orang-orang di sekitarku, tetapi sekarang aku memperhatikan
bahwa ada begitu banyak orang yang hadir.
Sudah ada beberapa pasangan, meskipun pesta baru saja dimulai.
Aku ingin tahu apakah
ada seorang gadis yang sesuai dengan tipeku;
rambut hitam panjang...polos, berpenampilan feminin...
Aku membuka mataku
lebar-lebar dan mengamati ruangan itu. Ada
berbagai jenis gadis.
“Bar sekarang dibuka!” salah satu anggota staf mengumumkan,
mengarahkan kami ke konter.
Selama waktu singkat
yang aku habiskan untuk melihat gadis-gadis, beberapa pasangan
laki-laki-perempuan telah terbentuk.
Aku harus bergegas
dan menemukan seorang gadis cantik!
Sayangnya, semua
gadis yang terlihat lumayan sudah sibuk mengobrol dengan pria lain. Ugh! Sudah
terlambat!
Aku mencari lebih
keras lagi, mencoba menemukan seseorang yang masih bebas. Di sudut ruangan, aku melihat dua gadis
berpenampilan rata-rata diam-diam menatap ponsel mereka. Mereka bukan tipeku, tapi aku menyadari jika aku
terus pilih-pilih, tidak akan ada lagi yang bisa aku ajak bicara. Itulah satu-satunya hasil yang harus aku
hindari dengan segala cara, jadi aku mulai berjalan ke arah mereka.
Namun, baru beberapa
langkah, aku berhenti. Kakiku tidak mau
bergerak.
Apa yang harus aku
katakan kepada mereka? “Hai, dari mana
asalmu?” Mustahil! Itu sama saja seperti mencoba merayu mereka!
Saat aku membayangkan
percakapan dengan mereka, aku sadar. Aku
tidak pandai berbicara dengan gadis-gadis, kan?
Aku bahkan tidak bisa
mendekati gadis-gadis di sekolah.
Sendirian di tempat asing membuatnya semakin sulit. Benar-benar tidak mungkin.
Kenapa aku
berpikir bahwa aku bisa melakukan ini?
Apa yang kupikirkan ketika aku mendaftar untuk ikut pesta ini?
Aku mungkin berpikir
bahwa aku hanya perlu hadir dan akan ada keajaiban yang terjadi. Mungkin seseorang akan berbicara padaku lebih
dulu, atau aku akan dapat menemukan alasan untuk mendekati mereka.
Seolah-olah. Aku selalu meyakinkan diri sendiri bahwa aku
bisa melakukan hal-hal yang jelas-jelas mustahil. Itu kebiasaan burukku. Aku harus berhenti membodohi diriku sendiri.
Sambil mendesah, aku
memutuskan. Cukup. Waktunya pergi.
Aku mendaftar, datang
jauh-jauh ke sini, mengantre, dan benar-benar ikut. Itu adalah prestasi tersendiri bagi otaku
asosial sepertiku. Bagus, Kagetora.
Jika aku tidak
meyakinkan diriku seperti itu, aku mungkin akan mulai menangis. Untuk membayar biaya masuk, aku harus
mengorbankan sejumlah besar uang untuk gacha dan makan siangku. Belum lagi, aku menyia-nyiakan satu hari
penuh libur sekolah.
Tapi aku lebih
suka menghabiskan tiga ribu yen daripada harus menghabiskan satu menit lagi di
tempat ini.
Aku mulai
berjalan—hampir berlari, sebenarnya—menuju pintu keluar, ketika...
"Aduh!"
"Ah! Maafkan aku!"
Aku menabrak seorang
gadis.
Aku terus meminta
maaf sementara aku berbalik untuk menatapnya, lalu membeku di tempat, kaget.
"Apa...?!"
Aku pernah melihatnya
sebelumnya.
Tidak aneh aku pernah
melihatnya sebelumnya, karena kami satu sekolah. Aku tidak pernah berbicara dengannya, tetapi
dia seangkatan denganku, dan kelasnya tepat di sebelah kelasku.
Apa yang dia
lakukan di sini?!
Kokoro Nishina. Dia sangat populer hingga aku tahu namanya
meskipun kami tidak sekelas. Dia
menonjol sejak hari pertama masuk sekolah.
Kokoro punya banyak
teman dan sepertinya dia sudah sering berkunjung ke kamar tidur laki-laki. Sebagian besar anak laki-laki populer
menyukainya. Namun, kecuali pakaian dan
gaya rambutnya, dia sebenarnya adalah siswa yang rajin dengan nilai yang bagus. Atau setidaknya, begitulah yang kudengar.
Aku memperhatikan
penampilannya baik-baik. Rambutnya
diwarnai. Gaun merah pendek yang
memperlihatkan bahunya. Sepatu hak
tinggi. Anting-anting besar. Riasan yang bahkan aku, yang tidak tahu
apa-apa tentang riasan, bisa tahu kalau itu mencolok. Kau tidak akan pernah mengharapkan seorang
gadis yang berpenampilan seperti ini muncul di pesta yang ditujukan untuk para
otaku. Jadi kenapa Kokoro Nishina, seorang
gadis populer dan normie yang luar biasa, menghadiri pesta seperti ini?
Aku melihat wajahnya
lagi dan melihat dia menjadi sangat pucat.
“Kamu tampak familiar. Mungkinkah kamu ... satu sekolah denganku?
” dia bertanya padaku.
“Oh, Two-Heart-san! Kami menemukanmu!” beberapa pria memanggilnya. "Kamu melarikan diri seperti itu, jadi
kami mencarimu!"
Dua orang yang
mendekat adalah orang penampilannya benar-benar sesuai dengan stereotip otaku. Wajah mereka, pakaian mereka, kata-kata
mereka yang bertele-tele: mereka benar-benar otaku (bukan bukan hanya dari
sudut pandangku).
[TL Note: penampilan otaku, mungkin gak perlu dijelasin, biasanya
berpenampilan culun.]
Mereka terus merayap
semakin dekat ke Kokoro, yang terlihat jelas-jelas merasa tidak nyaman.
“Ah, m-maaf, aku
bertemu seorang kenalan, kalian tahu…” katanya, meraih lenganku.
"Hah?!"
"Kenalan?" salah satu dari dua pria itu bertanya.
“Dia temanku... Aku
perlu bicara dengannya. Sampai ketemu
lagi!" katanya, melarikan diri dari
kedua pria itu sambil menyeretku bersamanya.
Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Satu-satunya pengalamanku
disentuh oleh gadis-gadis adalah ketika mereka secara tidak sengaja menabrakku
di kereta yang penuh sesak. Sejujurnya,
lenganku dicengkeram seperti itu sudah cukup untuk membuat jantungku berdebar
kencang. Bau manis yang tercium di udara
(Sampo? Parfum?) membuatku pusing.
Kokoro meninggalkan
kedua pria yang terdiam di sana, menyeretku keluar dari ruang karaoke dan menuju
ke tangga.
Begitu kami tidak
terlihat oleh orang lain, dia menatapku.
"Aku tidak tahu
namamu, tapi kita satu sekolah, kan?"
tanyanya, dia entah kenapa masih pucat.
"Kenapa kamu di sini?"
“Aku di sini hanya
untuk ikut pesta. Kenapa kamu di
sini? Kamu bahkan bukan otaku,” jawabku,
kesal karena dia membuatnya terdengar seperti aku tidak diizinkan berada di sini.
Sekarang setelah aku
bisa melihatnya dari dekat, aku mengerti kenapa dia begitu populer. Bahkan di antara tahun pertama, dia terkenal
karena kecantikannya dan, tentu saja, dia cukup imut untuk bisa tampil di TV.
Wajah dan tubuhnya
nyaris sempurna. Tentu saja, begitu juga
pakaian dan gaya rambutnya. Aku bukan
ahli mode, tetapi bahkan aku tahu bahwa dia berada di level yang berbeda dari
kebanyakan gadis lain di pesta itu.
Namun, aku tidak
menyukai gyaru atau gadis berpenampilan seksi.
Aku tidak ingin memiliki hubungan dengan mereka.
Aku tidak pernah
menyembunyikan fakta bahwa aku adalah seorang otaku, yang menyebabkan gyaru di SMP
mengolok-olok dan mem-bully-ku. Aku
sangat trauma hingga aku mulai menghindari interaksi sosial, duduk sendirian di
sudut kelas berusaha untuk tidak diperhatikan oleh siapa pun.
Itulah mengapa
bagiku, gyaru, tidak peduli betapa imutnya mereka, tidak membawa apa-apa selain
rasa takut.
Kokoro Nishina,
khususnya, adalah kebalikan dari gadis impianku "rambut hitam
panjang" dan "polos, berpenampilan feminim".
"Untuk ikut
pesta? Seperti, kamu ingin bertemu gadis-gadis
otaku?” dia bertanya padaku, bingung.
“Y-Ya.”
"Aku
mengerti. Jadi, kamu seorang otaku juga,”
katanya, dan ekspresinya menjadi sedikit rileks.
Tunggu, apa yang
baru saja dia katakan? Kamu seorang
otaku... juga?
"Kurasa kamu
memang terlihat seperti itu," tambahnya setelah melihatku dari atas ke
bawah.
"Apa?!"
Apa maksudnya itu?!
Komentarnya kasar dan
tidak beralasan. Aku telah melakukan
yang terbaik untuk mempersiapkan diri demi pesta ini.
"Lebih tepatnya,
apa yang kamu lakukan di sini?!"
"Itu ..."
dia menjatuhkan pandangannya dengan ekspresi bermasalah.
Setelah beberapa
saat, kemudian menghela nafas dalam-dalam, Kokoro kembali menatapku seolah dia telah
menemukan keberanian untuk mengatakan sesuatu yang sangat penting.
“Bukankah alasannya sudah jelas? Aku ingin pacar yang juga seorang otaku sepertiku!”
“Apa?!”
Seorang otaku
sepertiku? Dia? Gyaru ini?
Seorang otaku?! Dan dia di sini
untuk mencari pacar otaku?!
Aku tahu bahwa ada
otaku yang sangat pandai menyembunyikan identitas mereka hingga kau mengira
mereka adalah noemie, tetapi ini sulit dipercaya. Mengingat, dia adalah gadis paling populer di
sekolah.
“Ngomong-ngomong,
aku tidak akan memberi tahu siapa pun bahwa kamu datang ke pesta ini, jadi
tolong rahasiakan! Aku mohon, jangan
katakan ini pada siapapun!” dia memohon.
“Eh? Ah...” Aku sangat terkejut, dia terdengar
sangat putus asa hingga aku bahkan tidak bisa menjawabnya dengan benar.
“Aku tidak ingin
orang-orang di sekolah tahu kalau aku seorang otaku! Dan jika teman sekelasku tahu aku datang ke
pesta seperti ini, itu akan sangat memalukan bagiku di dunia!”
“Tentu,
baiklah. Tapi apakah akan seburuk itu
jika ada orang yang tahu?”
Kadang-kadang, gadis-gadis
populer di kelasku—walaupun mereka bukan benar-benar otaku—berbicara tentang
anime dan game gacha. Aku berasumsi
bahwa seseorang seperti Kokoro, yang posisinya sangat tinggi di tangga
popularitas sekolah, tidak akan benar-benar diolok-olok bahkan jika dia seorang
otaku.
“Itu akan lebih
daripada buruk! Itu akan mengerikan!”
“Tapi beberapa gadis
di kelasku juga berbicara tentang anime dan semacamnya...”
“Mereka bukan
otaku! Mereka hanya menonton anime, dan
hanya itu! Normie itu tidak tahu apa-apa
tentang doujinshi, atau Comiket, atau cosplay!
Meski begitu, gadis-gadis yang lain akan mengatakan sesuatu seperti,
‘Wow dia benar-benar kutu buku’!
bayangkan saja apa yang akan terjadi pada otaku hardcore sejati sepertiku! Aku akan kehilangan semua temanku dan
dijauhi!” Dia menjelaskan apa yang dia
maksud dalam sekali napas.
Jika apa yang dia
katakan itu benar, Kokoro bukan hanya seorang otaku, dia juga cukup serius
dalam hal itu.
“Oke, aku
mengerti. Aku tidak akan memberitahu
siapa pun, oke?” aku menjawab saat masih kaget dengan kecepatan kata-katanya.
“Benarkah? Tidak
bohong?” dia bertanya, berkedip ke
arahku. Dia tampak ketakutan.
“Ya.”
“A-Apakah kamu tidak
akan, seperti, memerasku? Seperti, kamu
tidak akan memberi tahu siapa pun selama aku melakukan sesuatu sebagai
balasannya?
“Ha?”
“Kau tahu, ...”
katanya sambil tersipu, “jika aku ingin kamu merahasiakannya, aku harus
mematuhi semua perintahmu, atau menjadi budak seksmu, atau ...”
“Apa yang sedang kamu
bicarakan?! Kamu terlalu banyak membaca manga aneh!” Aku berteriak, tidak bisa menahan
keterkejutanku.
Hal semacam itu
hanya terjadi di doujinshi untuk dewasa!
“Aku tidak akan
memerasmu atau apa pun. Aku tidak akan
memberi tahu siapa pun bahwa kamu adalah seorang otaku!”
“B-Benarkah?!” katanya, kaget.
“Ya.”
“Oh terima kasih.”
Kekhawatiran perlahan
menghilang dari wajahnya.
Aku telah membaca
beberapa novel ringan di mana heroime akan memeras pria menggunakan rahasia
kotor mereka, tetapi aku tidak sekejam itu.
“Tetap saja…” Kokoro
bersandar ke dinding, mendesah berat.
“Itu membuatku bingung. Aku tidak
menduga akan bertemu seseorang dari sekolah di sini. ”
Kalau begitu kita
berdua sama.
“Ngomong-ngomong,
siapa namamu?”
“K-Kagetora
Ichigaya.”
“Oh, sepertinya aku
pernah mendengar tentangmu.”
“Maaf aku sangat
tidak populer!”
“Hei, aku tidak bermaksud
mengatakan itu… Hm? Bayangan
Harimau...?” gumamnya, membaca label
nama di dadaku.
“Tunggu,
tunggu!” katanya, mulai tertawa. “Apakah itu karena namamu Kagetora? Apakah kamu benar-benar menerjemahkan namamu
ke dalam bahasa Inggris?! Itu sangat cringe! Itu adalah nama cringe paling
menakutkan yang pernah ada! Hahaha!”
“Diam! Kupikir itu
akan mudah diingat. Aku hanya menulis hal pertama yang terlintas dalam
pikiran!” kataku, mulai memerah karena
malu.
Aku selalu
menggunakan nickname ini dalan game.
Apakah itu benar-benar cringe?
Sial, lebih baik aku membuat nickname baru kalau begitu...
“Kamu bilang begitu!” Kataku, membaca “2♡” dari label namanya
sendiri. “Two-Heart! Ni dari Nishina, artinya dua (two). Lalu Kokoro, artinya hati (heart)! Kamu melakukan hal yang sama!” Kataku,
meninggikan suaraku.
“Tidak begitu. Ini
lucu dan keren!” dia menjawab.
“Lucu dan keren”
untuk “menerjemahkan namamu secara harfiah ke dalam bahasa Inggris.”
“Ngomong-ngomong, sudah
sejauh mana?” tanya Kokoro.
“Bagaimana? Apa?”
“Pestanya! Apakah kamu
bertemu gadis-gadis yang baik?”
“Hmm...”
Kejutan karena
bertemu dengan Kokoro membuatku melupakan segalanya. Tapi sekarang, aku ingat situasiku, datang ke
pesta ini mencari calon pacar, hanya untuk kembali dan pulang.
“Yah, jujur
saja, itu tidak bagus. Tidak ada
gadis cantik.”
Aku tidak mau
mengakui bahwa aku akan pulang karena aku tidak memiliki keberanian untuk
berbicara dengan siapa pun.
“Hah? Di antara semua
gadis ini, dan tidak ada yang kamu anggap imut? Seberapa tinggi standarmu?
Berapa banyak gadis yang kamu ajak bicara, sih?”
Aku membuang muka,
tidak ingin menjawabnya.
“Hai! Apa kamu
mendengarku?”
“Hanya saja...”
“Aku tidak bisa
mendengar bagian terakhir! Apa katamu?”
“Hanya saja… aku
masih belum berbicara dengan siapapun…”
“Apa? Belum sama
sekali?! Setelah sekian lama?!” dia
terkesiap, kaget.
“Tapi apa yang harus
kulakukan tentang itu? Lebih mudah untuk
anak perempuan, karena kamu hanya perlu menunggu seseorang datang dan bertemu
denganmu! Tapi untuk anak laki-laki itu
berbeda. Kami benar-benar harus memulai
percakapan!”
“Kenapa sekarang kamu
marah?! Dan jangan berpikir itu mudah para
gadis! Anak laki-laki dapat berbicara
dengan gadis mana pun yang mereka suka. Itu
bagus! Tapi kami bahkan tidak bisa
berbicara dengan orang yang kami suka karena kami didekati oleh orang lain lebih
dulu.”
“Setidaknya kamu
bisa berbicara dengan seseorang! Apakah
kamu mengerti rasanya sendiri saat semua orang mengobrol dan
bersenang-senang?! ”
Kami masih
memperdebatkan tentang siapa di antara kami yang bernasib lebih buruk ketika
kami mendengar suara dari dalam ruangan.
“Pertemuan otaku
hampir berakhir! Terima kasih telah
bergabung dengan kami!”
“Apa?!” Kami merespon serempak, kaget.
Berakhir?! Kokoro dan aku kembali ke ruang karaoke,
tetapi staf sudah mempersilahkan semua orang ke pintu.
“Tolong pergi dengan
tertib!”
Sebelum kami
menyadarinya, kami terjebak di luar dan berakhir kembali di tempat kami sebelumnya.
Salah satu kelompok
yang kami tinggalkan sedang berdiskusi ke mana mereka akan pergi selanjutnya.
“Mau pergi karaoke
bersama, hanya kita?”
“Tentu! Ayo pergi!”
Kokoro dan aku
memperhatikan mereka dari jauh.
Pesta telah usai,
dan dia adalah satu-satunya gadis yang aku ajak bicara. Karena aku berencana untuk pulang lebih awal,
kurasa itu sama saja...
“Pesta sudah berakhir? Seperti ini?” Kokoro berkata pada dirinya
sendiri, kecewa.
“Aku sudah
mempersiapkan banyak hal untuk ini! Ini
adalah satu-satunya kesempatan yang kumiliki!
Aku merias kukuku, membeli baju baru, dan bahkan berlatih di depan
cermin! Dan aku hanya berhasil berbicara
dengan dua pria yang bahkan aku tidak suka, dan kamu! Dan sudah berakhir? Tidak!
Tidak mungkin!”
Dilihat dari bagaimana
dia frustasi, Kokoro mungkin sangat menantikan pesta ini, bahkan lebih dariku.
“Tidakkah orang
sepertimu punya teman untuk mengenalkanmu pada seseorang? Kamu tidak terlihat
seperti orang yang punya masalah dalam urusan percintaan”, kataku. Tidak sepertiku, Kokoro populer. Apakah dia benar-benar perlu datang ke pesta
seperti ini?
“Aku sudah
memberitahumu fakta bahwa aku adalah seorang otaku! Dan aku ingin pacarku adalah otaku juga! Itu sebabnya aku tidak pernah bisa mencari di
sekolah atau melalui teman-temanku!”
Hm? Tapi itu berarti...?
“Jadi aku memutuskan
untuk memberanikan diri dan datang jauh-jauh ke sini, tapi sekarang sudah berakhir.”
“Jadi maksudmu,” aku
bertanya padanya, “kamu belum pernah punya pacar?”
“Bagaimana kamu
masih tidak mengerti?! Aku ingin pacar otaku,
tapi aku tidak bisa memberi tahu teman-temanku.
Sudah jelas bahwa aku belum pernah punya pacar?! ”
Jadi dia sama
sepertiku? Dia tidak pernah berpacaran
ada dengan siapa pun?! Aku tidak
percaya! Nishina yang tampak seperti
wanita penggoda itu tidak pernah berpacaran dengan laki-laki mana pun!
Dia masih bukan
tipeku sama sekali, tapi setidaknya aku merasa kami memiliki kesamaan. Kami berdua ingin menemukan seseorang dengan
hobi otaku yang sama dengan kami, tetapi tidak dapat menemukan pacar di
sekolah.
Seorang anak
laki-laki asosial dan seorang gadis populer, menghadapi masalah yang sama. Apa ini lelucon.
Sedih dan kecewa,
kami mulai berjalan menuju stasiun.
“Katakan,
Ichigaya... Apa kamu punya teman otaku?”
dia bertanya, matanya bersinar dengan optimisme yang baru dia temukan.
Apakah dia
berharap aku bisa memperkenalkannya kepada temanku? Dia bahkan lebih putus asa dari yang kukira.
“Aku punya teman di
sekolah, beberapa teman online, dan kemudian beberapa teman SMP.”
“Oh!” Dia sudah kembali bersemangat. Gyaru dangkal.
Jika yang dia cari
adalah pacar dengan selera otaku yang sama dengannya, maka aku tidak keberatan
memperkenalkannya kepada seseorang. Tapi...
“Biarkan aku
menanyakan sesuatu padamu. Sebenarnya
pria seperti apa yang kamu inginkan?”
“Yah... Pria yang
memiliki rambut hitam dan tidak menarik perhatian, tapi dia sebenarnya
tampan. Bisa menjaga dirinya sendiri,
agak penyendiri tetapi sangat baik untuk pacarnya. Hebat dalam game dan tentu saja tidak
biasa-biasa saja. Dia harus, seperti,
seorang otaku sejati. Dia tidak keberatan
jika pacarnya menyukai hal-hal yang sangat dalam atau BL, dan, mungkin, dia
bahkan menyukai hal-hal itu. Dia setia,
dia langsing dan tinggi, dia mau ber-cosplay denganku…”
“Otaku seperti itu
tidak ada!” Aku memotongnya.
Harapannya
terlalu tinggi!
“Mustahil! Aku yakin
ada banyak yang seperti itu! Aku tidak meminta model atau apa pun. Dan aku tidak
masalah dengan seseorang yang tidak terlalu tampan, mungkin seiyuu.”
“Kamu ingin pacar
seiyuu?”
“Baiklah kalau
begitu, katakan padaku. Pacar seperti
apa yang kamu cari? Tadi kamu mengatakan
bahwa tidak ada gadis imut, seolah-olah kamu adalah model majalah mode atau
semacamnya.”
Kami berdebat
sepanjang jalan menuju pintu masuk Showa-Dori stasiun Akihabara, jadi kami
menjauh dari keramaian, melanjutkan diskusi kami di dekat salah satu gang.
“Gadis seperti
apa? Mari kita lihat…” Imajinasiku
menjadi aktif saat aku membayangkan gadis impianku.
“Dia haruslah gadis
yang cantik dan polos yang menyukai hal yang sama sepertiku. Kamu tahu, seperti anime, game gacha, dan
hal-hal lain dengan gadis-gadis manis di dalamnya. Bukan BL atau otome game. Juga, dia harus baik dan perhatian, memiliki
rambut hitam panjang, kulit putih dan lebih pendek dari rata-rata. Lebih baik lagu jika seusiaku atau lebih
muda. tidak pernah pacaran, tidak
memiliki banyak teman pria dan…”
“Apakah kamu bodoh?”
“Hah?!” Aku tidak mengerti apa yang dia coba
katakan. Bodoh? Aku? Kenapa?
Kokoro melihatku
dengan jijik.
“Apakah kamu bersungguh-sungguh? Apakah kepalamu terbentur sesuatu? Kamu benar-benar berpikir gadis seperti itu
ada?” dia bertanya.
“Aku tidak ingin
mendengar itu darimu!”
“Sejak awal,
bagaimana kamu bisa keluar dari pesta seperti itu dan mengatakan bahwa tidak
ada gadis imut? Turunkan standarmu itu, oke? Mungkin cobalah melihat ke cermin sekali
saja?” dia melanjutkan.
Apakah hanya
perasaanku atau aku memang sedang dihina?
“A-Aku tidak
berpikir aku tampan atau apa! Sejak awal,
kamulah yang bertanya tentang pacar idealku!
Kamu tidak berhak mengatakan sesuatu seperti itu!”
“Itu bahkan bukan
tentang tampan! Kamu tidak merawat dirimu
sedikit pun, tetapi kamu ingin pacar imut!
Itu bagian yang gila!”
Kata-kata Kokoro
seperti serangan telak yang tepat mengenai dadaku.
“Tidak merawat
diriku? Aku mengenakan pakaian terbaikku
untuk pesta itu!” kataku, suaraku
bergetar.
“Dan apa yang kamu maksud? T-shirt band rock aneh itu, jeans murahan,
kalung tengkorak, dan sepatu kets yang terlihat seperti kamu membelinya bersama
ibumu saat SD? Kamu seperti hasil
pertama yang muncul ketika kamu mencari gambar pakaian untuk kutu buku di
Google!”
“A-Apa yang baru
saja kamu katakan?!”
Lututku semakin
lemah saat dia melanjutkan.
“Sebelum kamu datang
ke tempat-tempat seperti itu, kamu setidaknya harus membeli majalah fashion
atau pergi ke tempat-tempat trendi seperti Shibuya atau Harajuku dan melihat
apa yang dikenakan anak laki-laki lain seusiamu?”
Aku mengepalkan
tinjuku karena kesal.
Meskipun aku tidak
mau mengakuinya, dalam hal pakaian, Kokoro jelas lebih unggul.
“Tapi gadis otaku
mungkin menginginkan seseorang yang terlihat seperti mereka, bukan pria
fashionable!” aku berkata.
“Tentu, sebagian
besar mungkin seperti itu. Itu sebabnya
ada begitu banyak gadis di pesta hari ini.
Rata-rata otaku mungkin menginginkan pacar yang juga seorang otaku; yang menerima seleranya dan tertarik untuk merawat
dirinya, dan, jika memungkinkan, yang sedikit tampan,” katanya.
“Aku mengerti?”
“Tidak ada yang
menginginkan seseorang sepertimu, yang penampilannya meneriakkan otaku. Dan yang lebih penting, kamu mengatakan bahwa
kamu lebih suka dia tidak bermain BL atau otome game, bukan? Otaku yang meremehkan selera orang lain
adalah yang terburuk, asal tahu saja.
Pacar yang tidak menyukai anime tetapi tidak mengeluh tentang seleraku
akan seribu kali lebih baik!”
Aku sudah terkejut,
tetapi itu adalah pukulan terakhir.
Bukannya aku membenci semua fujoshi hanya karena mereka menyukai BL dan
game otome. Aku hanya lebih suka
gadis-gadis yang tidak menyukai hal-hal semacam itu. Apakah aku benar-benar meminta terlalu
banyak?
“Siapa kamu untuk
berbicara mewakili semua gadis otaku?!” Aku
bertanya.
“Aku seorang gadis
otaku, itulah aku!” jawab Kokoro.
Jadi dia
memberiku nasihat sebagai sesama otaku?
Tapi aku tidak bisa membiarkan dia mengatakan semua itu tanpa membalas
setidaknya sekali.
“Ngomong-ngomong,” kataku,
“kamu menceramahiku sejak tadi, tapi tahukah kamu, bahkan jika gadis otaku
tidak menyukaiku, anak laki-laki otaku juga tidak akan menyukaimu!”
“Hah?!”
Entah dari mana,
tekanan yang menumpuk di dalam diriku membuatku meledak.
“Pria tampan, tapi
tidak terlalu tampan, dengan rambut hitam yang pandai bermain game, kan? Bahkan jika pria seperti itu ada, dia pasti
tidak ingin dengan orang sepertimu!”
“Apa?! Bagaimana
kamu tahu itu?! ”
“Aku juga seorang
otaku! Aku tahu semua tentang selera
gadis anak laki-laki otaku. Dan hampir
semua anak laki-laki otaku ingin pacar otaku yang imut, polos, sederhana, dan
lemah lembut untuk diajak bicara tentang hal-hal otaku. Itu semua kebalikan dari dirimu!”
“Kebalikan?! Polos,
lemah lembut...?” Kokoro mulai berbicara
pada dirinya sendiri, benar-benar bingung.
“D-dan... kamu yakin
tentang itu?” dia bertanya.
“Ya, itu berlaku
untuk hampir semua anak laki-laki otaku.”
“Kalau begitu...ajari
aku. Ajari aku bagaimana cara menjadi
gadis yang disukai anak laki-laki otaku!”
dia berteriak.
“Hah?”
Dia memandang aku
dengan berkaca-kaca.
“Jika kamu mau
melakukannya, aku akan mengajarimu bagaimana cara menjadi anak laki-laki yang
disukai para gadis otaku. Aku bahkan
akan membantumu menemukan tempat untuk bertemu dengan mereka!” dia berkata.
“B-Benarkah?!”
“Tapi, begitu, kamu
harus membantuku sebaik mungkin!
Seperti, memberitahuku gadis seperti apa yang diinginkan para laki-laki
otaku, mengenalkanku pada teman otaku-mu, atau membantuku mencari!”
Sampai sekarang,
meskipun menginginkan pacar otaku dengan sepenuh hati, aku tidak tahu bagaimana
cara mendapatkannya. Semuanya akan lebih
mudah jika Kokoro, yang juga seorang otaku, membantuku.
“Baiklah kalau
begitu! Aku akan membantumu mencari pacar otaku. Aku tidak bisa benar-benar memperkenalkanmu
kepada teman-temanku, karena tidak satu pun dari mereka yang mungkin tipemu.
Tetapi aku dapat memberi tahumu bagaimana kamu harus bertindak jika kamu ingin disukai,
dan aku dapat membantumu menemukan tempat yang tepat untuk mencari calon pacar
otaku. Jadi sebaiknya kamu juga membantuku!”
Aku tahu persis
gadis seperti apa yang dicari otaku. Kamu
mungkin bisa mengatakan bahwa aku adalah seorang ahli. Pengetahuanku pasti akan membantu Kokoro.
Sungguh aku sangat
membuang waktu dan uang untuk datang ke pesta ini dan aku akan pulang tanpa
menunjukkan apa-apa, tapi mungkin tidak sepenuhnya sia-sia.
Aku belum menemukan
pacar tetapi, setidaknya, aku menemukan seseorang yang memiliki tujuan yang
sama denganku. Dia adalah seorang gyaru,
tipe orang yang paling aku benci, dan dia tidak melakukan apa-apa selain
menghinaku, tapi itu jauh lebih baik dari pada melakukannya sendiri.
“Sempurna! Jika
sudah diputuskan, maka datanglah ke rumah bersamaku!”
“Oke— Apa? Rumah?!”
+×+×+×+
“Wah.”
Pemandangan Rumah
Kokoro membuatku takjub. Seluruh daerah
ini dipenuhi rumah-rumah besar dan mewah.
“Aku mengirim pesan
kepada ibu dan mengatakan kepadanya bahwa aku akan membawakan seorang teman ke
rumah,” katanya.
“Oh, begitu.”
Dia mengejutkanku
dengan mengundangku ke rumahnya secara tiba-tiba, tetapi dia menjelaskan bahwa
itu hanya untuk menggunakan komputernya.
Dia ingin mencari tempat yang memungkinkan untuk menemukan pacar otaku,
tetapi ponselnya hampir kehabisan kuota dan tidak ada Wi-Fi di sekitar.
Sejujurnya, ide itu membuatku
gelisah. Aku belum pernah berkunjung ke
rumah seorang gadis sejak TK.
Apakah orang
tuanya akan salah mengira aku adalah pacarnya atau apa? Apa yang harus kulakukan jika itu terjadi?
“Hm? Pintunya terkunci…” gumam Kokoro, saat dia
mencoba membukanya.
Dia melihat ponselnya. “Oh! Ibu membalas pesanku. Benar, dia keluar bersama
teman-temannya hari ini.”
“Apa?”
“Oh baiklah!” Dia mematikannya, memasukkan ponselnya
kembali ke sakunya, mengeluarkan satu set kunci, dan membuka pintu.
T-Tunggu, ini
berarti... Jantungku berdebar kencang di dadaku, dan tanganku gemetar. Lebih gelisah dari yang kuharapkan, aku
membeku di tempat.
“Sampai kapan kamu
akan berdiri di sana?” dia bertanya,
bingung, menungguku mengikutinya masuk.
“H-hanya... K-kamu
tahu...”
Bagaimana dia
bisa santai itu?!
Tentu saja, aku
bahkan tidak menyukai dia yang seperti itu dan aku tidak berpikir sesuatu akan
terjadi hanya karena kami berduaan.
Tetapi tetap saja! Seorang anak
laki-laki dan perempuan, berduaan...!
“Kamu tidak membayangkan
sesuatu yang aneh, kan? Hentikan! Kita hanya akan mencari beberapa hal di
internet!” dia berkata begitu, melawan kegugupanku
dengan campuran antara kebencian dan jijik.
“M-membayangkan?! Aku hanya khawatir masuk ke dalam rumahmu
tanpa izin orang tuamu!” Jawabku, marah
dengan sikapnya.
Dia benar-benar
menjengkelkan. Fakta bahwa aku menjadi gugup
karena seseorang seperti dia membuatku kesal.
Aku memutuskan untuk
memperhatikan fakta bahwa dia adalah seorang gadis, dan berjalan ke dalam rumah
mengikutinya. Kami melewati lorong,
ruang tamu besar, dan tangga, menuju kamar Kokoro.
Begitu dia membuka
pintu, aroma bunga yang manis menyambuku.
Beberapa saat yang lalu, aku memutuskan untuk tidak memikirkan hal-hal
semacam itu, tetapi ini terlalu berlebihan untuk seorang perjaka sepertiku. Kupikir aku akan pingsan.
Sampai kelas tiga, aku
bisa berbicara dengan gadis-gadis. Lalu
aku jatuh ke lubang kelinci otaku. Sejak
saat itu, aku tidak punya satu pun teman dari lawan jenis. Aku bahkan gugup saat berbicara dengan wanita
tua yang tinggal di dekat rumahku, apalagi gadis-gadis seusiaku.
Dan sekarang, entah
bagaimana, aku berjalan ke kamar seorang gadis, berduaan dengannya. Kuharap aku bisa pergi sekarang.
“Oh…” kata Kokoro
tiba-tiba, melirik ke arahku. Dia
menghela nafas dengan ekspresi kecewa.
“Apa ada masalah?” aku bertanya.
“Tidak, tidak ada
apa-apa. Aku hanya berpikir bahwa anak
laki-laki pertama yang masuk ke kamarku bukanlah pacarku. Bukan hanya itu, tapi kamu dari semua orang,”
katanya.
“Aku dari semua
orang?! Kamulah yang menyuruhku
masuk! Itu tidak sopan?!” Aku menjawab,
marah.
Aku adalah anak
laki-laki pertama yang dia undang ke kamarnya?
Kupikir dia memiliki lebih banyak pengalaman seperti itu, kita
benar-benar tidak bisa menilai buku dari sampulnya.
Aku menarik napas
dalam-dalam dan melihat sekelilingku.
Dinding dan perabotannya
semuanya berwarna merah muda dan putih, memberikan kesan yang sangat
feminin. Ada rak-rak yang dihiasi manga
shojo, papan gabus yang dipenuhi foto-foto Kokoro bersama teman-temannya, dan
tempat tidurnya penuh dengan bantal dan boneka berbentuk hati.
Ini benar-benar
seperti yang kau harapkan dari kamar tidur seorang gadis. Namun, aku memperhatikan sesuatu yang aneh.
“Ini sama sekali
tidak terlihat seperti kamar seorang otaku,” kataku.
“Oh, tentu saja. Aku
merahasiakannya dari keluargaku.”
“Kenapa kamu
melakukan itu?”
“Orang tuaku tidak suka
dengan budaya otaku. Mereka punya alasan
masing-masing,” katanya dengan sedih, mengalihkan pandangannya dariku.
Beberapa orang tua
memang seperti itu. Tapi itu berarti
Kokoro harus menyembunyikan hasratnya tidak hanya di sekolah, tapi juga di
rumah. Aku tidak tahu seberapa dalam tingkat
otaku-nya, tapi untuk orang sepertiku, itu adalah neraka.
“Oh,
ngomong-ngomong, aku akan menunjukkan sesuatu yang keren! Sebenarnya, ini akan
menjadi pertama kalinya aku menunjukkan ini kepada seseorang! ” katanya, tiba-tiba berseri-seri karena
bersemangat. Harus kuakui, cara dia
mengubah ekspresi dengan begitu cepat cukup imut.
Sesuatu yang
belum pernah dia tunjukkan kepada siapa pun?
Apa itu?
Dia membuka laci,
mengeluarkan kunci, dan menggunakannya untuk membuka lemari.
Kenapa ada orang
yang mengunci lemari mereka?
Dia membukanya. Aku melihat apa yang ada di dalam, dan tidak
bisa berkata-kata lagi.
Tumpukan manga. Majalah manga. Majalah anime. Majalah game. Kotak Anime Blu-ray. DVD konser seiyuu. CD.
Gantungan kunci karakter. Gulungan
poster dan alas. Tumpukan boneka
karakter pria. Bermacam-macam bentuk dan
ukuran action figur.
“A-Apa ini?!” seruku, tidak bisa mempercayai mataku saat
melihat beberapa figur di dalam. Ada
banyak karakter pria tampan, bahkan ada yang telanjang.
“Oh, yang ini? Ini adalah bonus preorder untuk Dramatic
Mayday, game BL yang sangat populer! Ini
sangat detail, kan?! Ryokuha adalah uke
untuk semua anak laki-laki lainnya. Dia
sangat seksi, kan? Wajahnya yang paling imut,
dan dan selangkangannya seksi! Stoknya
sangat terbatas hingga aku harus antre di depan toko selama berjam-jam!”
Aku belum pernah
melihat Kokoro mengoceh seperti ini sebelumnya.
Kata-katanya, jauh lebih cepat dari biasanya, mengandung nafsu dan
kebanggaan.
Apakah dia
baik-baik saja? Apakah para gadis
benar-benar mengatakan hal-hal seperti itu?!
Tingkat otaku-nya
jauh lebih akut daripada yang kukira.
Ocehannya yang tidak jelas adalah contoh sempurna dari pembicaraan otaku
yang menyeramkan. Gadis di depanku itu
seperti orang yang benar-benar berbeda dibanding dengan Kokoro di sekolah.
“Kamu membeli game
BL di toko?!” Aku bertanya.
“Bukankah itu normal?”
“Dan apa ini?!” Aku melihat sesuatu yang lebih aneh daripada figur
cabul itu.
Ada tas yang
tergantung di dinding lemari. Itu
tertutup begitu banyak pin dan gantungan kunci hingga aku bahkan tidak bisa
menebak tas itu sebenarnya berwarna apa.
Semua aksesoris itu bergambar pria pirang tampan yang sama dari game
idol laki-laki, atau semacamnya. Aku
tidak terlalu tahu tentang game anak perempuan untuk mengenalinya.
“Apakah itu... tas
ita?!” aku bertanya. Ita-bags: tas yang ditutup oleh pernak-pernik
otaku. Aku pernah melihatnya di Twitter
sebelumnya, tetapi tidak pernah dalam kehidupan nyata.
Aku bisa mengerti
memiliki beberapa pernak-pernik bergambar karakter yang sama, tetapi memiliki
lusinan pin bergambar karakter yang sama itu gila.
“Kenapa kamu
memiliki semua pin itu?”
“Aku selalu membeli
semua pernak-pernik Kaoru Hashimoto,” katanya.
“selalu membeli…” aku
mengulangi kata-katanya, takut dengan kata-kata itu. Apakah dia menimbun barang apapun yang
bergambar karakter itu?
Dalam beberapa
detik, aku harus menerima kenyataan bahwa Kokoro mungkin lebih dari otaku
daripada aku.
“Dan kemudian, aku
juga punya—“ dia berkata dan dengan semangat membuka laci.
“Cukup! Aku sudah
mengerti!” Aku berkata, dengan putus asa
membuatnya berhenti demi keselamatanku sendiri. “Sekarang aku mengerti kenapa kamu
mengunci lemarimu.”
“Ya, jika orang
tuaku menemukan semua ini, aku akan dibunuh di tempat!”
“Tapi,” kataku,
mengingat apa yang dia katakan tentang orang tuanya, “kamu harus menyembunyikan
hobimu baik di sekolah maupun di rumah. Tidakkah
itu melelahkan?”
“Apakah begitu? Aku
sudah terbiasa, aku tidak pernah memikirkan itu. Apakah orang tuamu tahu kamu
adalah seorang otaku?” dia bertanya,
mengunci lemari dan duduk di atas bantal. Dia mempersilahkanku duduk di bantal
lain, jadi aku ikut duduk dengannya.
“Ya. Aku tidak
pernah menyembunyikannya, bahkan ketika kami tinggal bersama.”
“Maksudmu kamu tidak
tinggal bersama orang tuamu lagi?” dia
bertanya.
“Uh-huh. Aku tinggal
sendiri sekarang.”
“Tinggal sendiri
saat kamu masih SMA? Apakah seperti
anime atau semacamnya?”
“Ayahku dipindahkan
ke luar negeri karena alasan pekerjaan, tetapi aku tidak ingin pindah dari
Jepang, jadi aku meminta izin padanya untuk diperbolehkan tinggal sendiri di
sini.”
Sudah setengah tahun
sejak kedua orang tuaku dan adik perempuanku pindah ke luar negeri. Mereka mencoba mengajakku pergi bersama
mereka, tetapi itu berarti aku harus pindah ke India.
Jika aku pindah ke
sana, tidak mungkin aku bisa menonton TV Jepang lagi. Aku harus streaming untuk menonton anime,
tapi kecepatan internet di India tidak begitu bagus. Tidak ada jaminan bahwa aku akan menemukan
semua anime yang ingin kutonton di internet, dan sejak awal aku tidak suka menonton
secara ilegal. Dan jika koneksiku
seburuk itu, aku bahkan tidak akan dapat berbicara dengan teman-temanku atau
bermain game gacha. Belum lagi, di
India, aku tidak bisa membeli manga terbaru.
Sejak menjadi otaku saat
masih SD, aku telah mengelilingi diriku dengan anime, manga, dan game. Aku mencintai budaya otaku Jepang dengan
sepenuh hati, dan aku tidak bisa membayangkan jauh darinya. Tanpa itu, apa aku masih bisa hidup?
Aku sangat ingin
tinggal hingga aku membujuk orang tuaku untuk meninggalkanku. Aku akan melakukan semua pekerjaan rumah dan
belajar, tapi aku tidak ingin tinggal di suatu tempat di mana aku tidak dapat
menikmati hobiku. Biarkan aku tinggal di
Jepang sendiri, itulah yang kukatakan pada mereka.
Awalnya, tentu saja,
mereka tidak setuju. Mereka mengatakan
bahwa aku terlalu muda untuk hidup sendiri, karena aku masih SMA. Jadi aku terus mengganggu mereka setiap ada
kesempatan, dan menunjukkan kepada mereka bahwa aku bisa menjaga diriku
sendiri. Akhirnya, mereka menyerah.
Ayah memberitahuku
bahwa, jika aku benar-benar menginginkannya, aku bebas mencoba hidup
sendiri. Jika semua pekerjaannya
berjalan sesuai rencana, mereka akan kembali ke Jepang sekitar dua tahun lagi,
setelah aku lulus SMA.
Aku harus berjanji
jika nilaiku turun drastis, atau jika, ketika mereka kembali untuk berlibur,
dia melihat bahwa aku tidak bisa mengurus diri sendiri, aku harus ikut mereka
ke India. Begitulah caraku mulai hidup
sendiri sementara orang tuaku mengirimiku uang untuk bertahan hidup.
Pada awalnya sulit
ketika harus belajar dan mengurus pekerjaan rumah sendiri, tetapi tekad untuk
dapat mempertahankan kehidupan otaku-ku membuatku terus berusaha sampai aku
terbiasa.
Bahkan sekarang, aku
tidak memasak semua makananku sendiri, kebanyakan makanan siap saji dari
supermarket, toserba, dan toko bento.
Hal-hal yang aku masak tidak terlalu bagus. Ibu mengatakan kepadaku bahwa, bahkan jika aku
tidak ingin memasak setiap hari, aku harus makan makanan yang bergizi dan
menghindari makanan yang tidak sehat. Aku
berhasil melakukan itu setidaknya.
Aku biasanya bersih-bersih
dan mencuci pakaian di akhir pekan.
Semuanya berjalan dengan sangat baik.
Lagi pula, aku tidak bergabung dengan klub apa pun sepulang sekolah,
yang akan merampas waktu luangku yang berharga.
“Kamu lebih tangguh
dari yang aku kira, ya. Dan kamu sangat
serius menjadi seorang otaku,” komentar Kokoro, terkesan dengan
penjelasanku. “Tapi kurasa aku akan
melakukan hal yang sama. Aku tidak ingin
tinggal di luar negeri! Aku bahkan tidak
bisa membayangkan tidak memiliki akses ke internet. Aku ingin menyaksikan anime segera setelah
mereka rilis. Dan aku perlu membeli pernak-pernik
karakter dan barang-barang cosplay…”
“Itu yang akan
dilakukan semua otaku,” kataku.
“Ya... Oh, kita
terlalu banyak membuang waktu! Kita
harus mulai!” katanya sambil menyalahkan
laptopnya.
“Aku ingin mencari
tempat di mana bisa menemukan pria otaku.
Apa yang harus aku ketik di Google?
‘Di mana menemukan anak laki-laki otaku’?”
Saat kami sedang
mencari tempat pertama untuk mencari kekasih otaku, kami mendengar pintu depan
terbuka.
“Kurasa ibu sudah pulang,”
kata Kokoro, membuka pintu untuk memeriksa lantai bawah.
“Ah!” katanya, segera menutup pintu.
“Ada apa?”
“Ayah juga pulang! Kenapa sekarang?! Jika dia melihatmu di sini, aku akan berada
dalam masalah...” katanya, matanya melebar.
“Aku tidak peduli
jika ibu tahu kamu di sini, tapi ayah... Dia selalu bertanya apakah aku punya
pacar atau naksir pada seseorang atau semacam, jadi dia mungkin akan salah
paham.”
“Seperti, ‘Aku akan
membunuhmu karena mencoba menyentuh putriku’?!”
“Tidak, tidak
seperti itu. Dia agak berlebihan jika
menyangkut masalah romansa, kamu tahu.
Dia bilang kalau aku punya pacar, aku harus memperkenalkannya…”
Kata-katanya terhenti saat kami mendengar langkah kaki mendekat.
“Oh tidak! Mereka
datang! Cepat, sembunyi!” dia berkata
kepadaku.
“Sembunyi?! Di
mana?”
Dia meraih lenganku
dan menarikku berdiri.
“Cepat! Masuk ke
dalam!” dia, membuka lemari lain. Yang ini penuh dengan pakaian, hanya ada cukup
ruang bagi satu orang untuk sembunyi, meskipun tidak nyaman.
Ada ketukan di
pintu, dan jantungku berdebar kencang.
“Kokoro! Kamu dirumah?”
“T-tunggu! Aku sedang ganti pakaian!”
Aku masuk ke dalam
lemari dan Kokoro menutup pintunya dari luar.
Rasanya aneh berada di sini, dalam kegelapan, dikelilingi oleh bau
pakaiannya.
“Aku selesai!” serunya, setelah memastikan lemari sudah
benar-benar tertutup.
Aku mendengar pintu
terbuka dan banyak langkah kaki masuk ke dalam kamar.
“A-ayah, ada
apa? Kupikir kau ada pekerjaan ... “
“Oh, aku mendapat
cuti kompensasi hari ini. Yang lebih
penting, apakah kau punya waktu sebentar lagi?
Ada sesuatu yang penting yang harus kita diskusikan.”
“Hm? Kau bilang akan ada temanmu yang berkunjung
hari ini, Kokoro?”
“Ah, itu, eh, dia
tiba-tiba bilang dia tidak bisa datang! Apa
sesuatu yang penting itu?”
Orang tua Kokoro
berhenti sejenak, nada bicara mereka tiba-tiba menjadi serius.
“Sayang, katakan
padanya …”
“Ya. Kokoro, aku tahu ini mendadak, tapi bulan
depan aku akan dipindahkan ke luar negeri.”
“Apa?”
Bahkan aku, yang
menguping dari dalam lemari, terkejut.
“Aku akan bekerja di
Inggris untuk sementara waktu... dan aku ingin kau dan ibumu ikut bersamaku.”
“Ke Inggris?!”
Dipindahkan ke
Inggris mulai bulan depan? Mereka akan
pindah ke luar negeri... Itulah yang terjadi padaku! Apa ini kebetulan?
“Hanya untuk satu
setengah tahun, jadi kita seharusnya bisa kembali ke Jepang tepat waktu saat
kau lulus SMA.”
“T-tidak...” Kokoro
tergagap, seolah dia akan menangis.
“A-aku tidak ingin jauh dari kalian, tapi lebih dari itu, aku tidak
ingin jauh dari Jepang!”
“Kokoro! Apa yang sedang kau bicarakan?!”
“Aku ingin tinggal
di Jepang sendiri!”
“Apakah kau
serius? Untuk apa?”
“Karena… aku punya
teman dan hobiku di sini…”
Aku mengerti
bagaimana perasaan Kokoro. Lagi pula, aku
merasakan hal yang sama beberapa bulan yang lalu, dan melihat simpanan
lemarinya memberitahuku betapa seriusnya dia menjadi otaku. Cukup untuk membuatku takut.
“Hobi? Hibi apa?
Tidak bisakah kau melakukannya di Inggris saja?” Ibu Kokoro bertanya, tetapi putrinya tetap
diam.
Dia tidak bisa
mengatakan kalau dia adalah otaku karena orang tuanya sangat tidak menyukai
itu. Itu hanya akan memberi mereka lebih
banyak alasan untuk membawanya pergi dari Jepang.
“A-ayah temanku
pindah ke luar negeri awal tahun ini, dan sekarang dia tinggal sendiri, tidak
ada masalah. Aku juga bisa! Aku bisa belajar dan mengerjakan pekerjaan
rumah, tidak masalah!”
Apakah dia berbicara
tentang aku?
“Belajar dan
mengerjakan pekerjaan rumah bukanlah masalah.
Masalahnya adalah seorang gadis semuda kau hidup sendiri. Kami tidak bisa membiarkanmu melakukan
sesuatu yang begitu berbahaya.”
Aku ingat betapa
terkejutnya aku ketika orang tuaku sendiri memberi tahuku bahwa aku harus
pindah ke luar negeri. Ada banyak alasan
kenapa aku tidak ingin pergi: tidak mengerti bahasanya, merasa bahwa aku
mungkin tidak bisa mendapatkan teman di sana, dan sebagainya. Tapi yang paling penting adalah aku tidak
ingin meninggalkan budaya otaku tercintaku.
Saat ini, aku
mungkin satu-satunya orang yang mengerti bagaimana perasaan Kokoro yang
sebenarnya. Namun, orang tuanya ada
benarnya. Terlalu berbahaya bagi seorang
gadis SMA untuk tinggal sendiri. Aku
harus melakukan sesuatu.
Ini mungkin tidak
akan berhasil. Atau ini akan memperburuk
keadaan. Tapi aku harus mencoba!
Hanya ada satu cara
untuk membantunya.
“Ahhh!” Aku melompat keluar dari lemari, mengejutkan
orang tua Kokoro, yang sekarang berteriak.
“Apa?! Siapa dia?!”
“I-Ichigaya?!”
“Senang bertemu
dengan Anda! Aku Kagetora Ichigaya! Aku bersekolah di sekolah yang sama dengan putri
Anda!”
“K-Kenapa kamu bersembunyi
di dalam lemari?!” Ayah Kokoro menatapku
dengan waspada. Aku pasti terlihat
sangat mencurigakan. Wajar saja.
“Aku tidak melakukan
sesuatu yang aneh! Nishina dan aku tidak
memiliki hubungan seperti itu! Dia hanya
mengundangku untuk bermain, itu saja,” kataku.
“B-benar! Sudah kubilang akan ada temanku yang
berkunjung, ingat? Tapi karena dia
laki-laki, kupikir ayah akan melarangku, jadi aku memintanya untuk
bersembunyi!” Kokoro, terlepas dari
keterkejutannya, dia melakukan improvisasi.
“Jadi, aku sangat
menyesal, tapi aku mendengar percakapan kalian barusan. Aku tahu itu bukan urusanku, tapi...” Kedua
orang tuanya menatapku saat aku berbicara.
“Jika Anda
mengkhawatirkan Nishina—maksudku, Kokoro!—tinggal sendiri, dia bisa tinggal
bersamaku!”
“Apa?!”
“Ada kamar kosong di rumahku! Itu adalah tempat yang sangat aman, terletak
di daerah baik-baik di mana tidak ada hal berbahaya yang pernah terjadi.”
"Ichigaya...?" Kokoro menatapku, sama bingungnya dengan
orang tuanya.
Sejujurnya, aku
sendiri bingung, hampir tidak percaya kata-kata yang keluar dari mulutku. Aku hanya percaya bahwa, setelah percakapan
itu, aku adalah satu-satunya harapan Kokoro untuk tetap bisa tinggal di Jepang.
Rumahku memiliki dua
lantai dan satu kamar cadangan. Meskipun
orang tua Kokoro akan pergi selama satu setengah tahun, orang tuaku tidak akan pulang
selama dua tahun, jadi itu tidak akan menjadi masalah. Kami hanya perlu menyembunyikan dia ketika keluargaku
kembali untuk berlibur.
Meskipun demikian, aku
menyadari kesalahan dalam penalaranku. Itu
mungkin daerah baik-baik, tapi, bagi ayahnya, sesuatu yang paling berbahaya
adalah aku, seorang anak laki-laki.
Tentu saja aku tidak
ingin melakukan apa pun pada putri mereka!
Dan bahkan jika aku melakukannya, ada banyak alasan kenapa aku mungkin
tidak bisa. Membuat mereka percaya padaku
itu sulit, tetapi aku harus mencoba.
Wajah Kokoro membeku karena khawatir.
"Apa hubunganmu
dengan—" Ayahnya mulai berbicara, tapi Kokoro memotongnya.
“K-Kau selalu
menyuruhku mencari seseorang yang kucintai dan membawanya pulang segera setelah
aku menemukannya, kan? Aku tidak pernah
memberitahumu karena aku terlalu malu, tapi Ichigaya adalah pacarku!”
“Hah?” Orang tuanya terdiam, benar-benar
terkejut. Aku juga.
Apa yang barusan
kau katakan?!
“Dan kau juga
mengatakan kepadaku bahwa jika aku jatuh cinta, aku harus menghargai cinta itu lebih
dari apapun di dunia ini, kan?! Jadi,
itu sebabnya aku tidak bisa meninggalkan Jepang! Aku tidak ingin pindah begitu jauh dari
pacarku!”
“K-Kokoro...” Pasangan
yang kebingungan itu menatap putri mereka, lalu ke arahku.
Aku agak mengerti apa
yang coba dia lakukan. Dia ingin aku
berpura-pura jadi pacarnya sehingga orang tuanya tidak akan menentangnya
tinggal bersamaku. Tapi bukankah itu
akan membuatnya jauh lebih buruk?
Punya pacar adalah
satu hal, tapi tinggal bersama? Saat kami
berdua masih SMA? Tidak ada orang tua
normal yang akan mengizinkannya.
“Jadi, Kokoro, itulah
kenapa kau tidak mau ikut bersama kami…” kata ayahnya, menatap putrinya dan
menghela nafas.
“Aku bertemu ibumu
ketika kami masih SMA. Kami adalah teman
sekelas. Aku adalah siswa yang nakal dan
sulit diatur. Dia, di sisi lain, sangat
rajin hingga dia terpilih sebagai ketua kelas.
Kami sangat berbeda, tapi itulah kenapa aku jatuh cinta padanya.” Tiba-tiba, dia mengenang masa-masa
sekolahnya.
“Karena aku cukup
nakal, orang tua ibumu menentang kami bersama.
Kami bahkan berpikir untuk kabur dari rumah, tetapi kami malah
menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk meyakinkan mereka. Akhirnya, hari itu tiba, mereka memberi kami
restu untuk kami menikah. Jadi... aku
tahu bagaimana perasaan kalian berdua.”
Dia melirik aku dan Kokoro dengan senyum melankolis di wajahnya.
Ada apa dengan
pria ini?
“Aku ingin tahu lebih
banyak tentang dirimu, Ichigaya,” katanya padaku, “tetapi jika Kokoro-ku sudah memilihmu,
aku yakin kamu adalah pemuda yang luar biasa.”
"Aku, eh ...
ya?"
"Kokoro, kau
tidak ingin meninggalkan dia, apa pun yang terjadi, kan?" dia kemudian bertanya pada Kokoro.
"I-Itu
benar!"
“Aku mengerti. Sejujurnya, sulit untuk membayangkan hidup
jauh dari putriku sendiri. Bahkan jika
itu hanya untuk sementara, itu sangat menghancurkan hatiku hingga aku tidak dapat
menerimanya! Tapi menjauhkanmu dari laki-laki
yang kau cintai... Aku tidak bisa membuat Kokoro-ku menangis seperti itu. Aku tahu bagaimana rasanya dunia melawan
cintamu.”
Dia serius! Hanya itu yang dibutuhkan untuk
meyakinkan?! Nishina tidak bercanda
ketika dia mengatakan bahwa ayahnya adalah seseorang yang agak berlebihan jika
menyangkut masalah romansa! Dia
benar-benar menempatkan romansa di atas segalanya ...
Tapi dia tidak mau
hanya seperti ini, pikirku, bertukar pandang dengan ibunya, dia terlihat lebih pengertian.
“Kokoro,” katanya,
“aku sebenarnya sangat mengkhawatirkanmu.
Kau masih SMA, dan kau tidak pernah membawa pulang pacar, atau bahkan
teman laki-laki. Selama ini aku berharap
kau akan menemukan cinta seperti kami.
Dan sekarang, untuk berpikir bahwa kau memiliki hubungan yang begitu
luar biasa dan bahkan tidak memberi tahu kami tentang itu!”
Ekspresi khawatirnya
berubah menjadi senyuman.
“Aku sangat bahagia
untukmu. Tapi kau masih sangat
muda. Aku tidak ingin kau melakukan
sesuatu yang tidak pantas. Jika kau bisa
berjanji, aku akan mengizinkanmu. ”
Aku masih berjuang
untuk memahami bagaimana kedua orang dewasa ini dapat dengan mudah diyakinkan
oleh putri mereka yang masih SMA.
“Tolong, buat Kokoro kami
bahagia,” kata ayahnya, memberikan senyum ramah kepadaku.
“Eh?! Ah, aku... Ya!” aku menjawab, berjalan pergi bersama semua
orang di kamar itu.
Aku adalah orang yang
memulainya, tetapi aku tentu tidak berharap akan jadi seperti ini.
Kami pindah ke ruang keluarga
untuk membicarakan berbagai hal saat makan malam.
Ayah Kokoro terus
mengajukan pertanyaan tentang putrinya dan bagaimana kami mulai berpacaran,
jadi aku harus menjawab dengan cepat dan sebaik mungkin.
Setelah interogasi
itu, entah bagaimana dia jadi lebih menyukaiku, mengatakan kepadaku bahwa,
"sekarang setelah aku berbicara denganmu, aku yakin kamu adalah pemuda
yang baik."
“Namun,” lanjutnya,
menatap kami dengan khawatir, “seperti yang ibumu katakan tadi, kalian berdua
masih SMA. Meskipun kalian sudah
berencana untuk menikah, kalian harus menyadari bahwa ada beberapa batasan yang
belum boleh dilanggar, apakah kalian mengerti?”
Aku tahu, tentu,
tapi...
"Hah?! Ayah, jangan katakan hal-hal menyeramkan
seperti itu! Aku tidak akan pernah
melakukan hal semacam itu dengannya!”
seru Kokoro, jijik.
Apakah dia
benar-benar harus mengatakannya seperti itu?!
Aku mencoba membantunya sekarang!
"Oh? Benarkah?”
ayahnya bertanya, terkejut dengan ledakannya. Lagi pula, itu tidak terdengar seperti
sesuatu yang akan dikatakan seorang gadis remaja tentang pacarnya.
“A-aku tidak akan
pernah berpikir untuk melakukan hal-hal seperti itu sebelum menikah! Itu tidak mungkin!" katanya, tersipu. Kau dapat mengatakan bahwa dia tidak
berbohong. Dia tidak terlihat bermasalah
tentang itu, tapi kupikir dia jauh di dalam sedang memikirkan itu dengan lebih
serius.
"Aku pikir juga
begitu! Anda tidak perlu khawatir!
” aku setuju, dan wajah ayahnya tampak
menjadi santai.
Setelah makan malam,
orang tuanya bertanya apakah mereka bisa berbicara denganku. Namun, karena mereka akan pindah ke luar
negeri, aku bersikeras bahwa akulah yang harus memberi tahu mereka tentang hal
itu.
Jadi, diputuskan
bahwa Kokoro akan tinggal di rumahku selama satu setengah tahun ke depan,
sampai ayahnya dipindahkan kembali ke Jepang.
Kami mengatur tanggal dan segala sesuatunya. Dia akan mulai tinggal bersamaku tepat
sebelum orang tuanya pergi.
Orang yang
memproklamirkan diri sebagai ayah baruku mengantarku pulang, tapi selama
perjalanan aku tidak bisa berhenti panik.
Nishina... akan tinggal
bersamaku?! Kami bahkan tidak berpacaran! Bagaimana aku akan bertahan?
Aku jatuh ke tempat
tidurku, kepalaku berputar dengan semua kemungkinan yang mungkin terjadi saat
tinggal bersama seorang gadis. Aku
benar-benar kelelahan, tapi aku tidak bisa melupakan tanggung jawabku, jadi aku
mengeluarkan ponselku untuk mengambil bonus login harianku dan melakukan
beberapa misi dalam game.
Namun, kelelahanku
menguasaiku, dan aku ketiduran dengan ponsel masih di tanganku.
Translator: Janaka