Bab 1 - Mantan Pacarku menolak untuk memanggilku
dengan benar (Inilah yang aku benci tentangmu)
-POV Mizuto Irido-
(...........)
(...........)
Aku sedang berdiri di pintu, dan memulai
kontes menatap seperti seorang berandalan.
Lawanku adalah seorang gadis seusiaku,
dan tidak ada yang lain selain kami―atau begitulah yang ingin aku katakan. Tetapi
aku harus akui, ada hubungan yang lebih dari itu. Setidaknya, hubungan kami
dulu itu ada.
“Kau mau pergi kemana, Mizuto-kun?”
“Justru aku yang harusnya bertanya begitu,
kau mau pergi kemana, Yume-san?”
Gadis itu bertanya; dan aku menjawab,
dan selanjutnya adalah hening.
Ini adalah ketiga kalinya.
Aku sudah tau kemana gadis ini akan
pergi bahkan tanpa bertanya sekalipun. Itu adalah toko buku besar dekat
stasiun. Penerbit novel misteri baru saja merilis seri terbarunya, dan aku
berencana membeli seri baru tersebut; sepertinya gadis ini memiliki ide yang
sama.
Kalau begini terus, kami akhirnya akan
keluar bersama, berjalan bersama ke toko buku, pergi ke sudut yang sama, dan
mengantri di kasir yang sama.
Bukankah kami terlihat seperti
pasangan dengan selera buku yang sama?
Kesalahpahaman semacam itulah yang
ingin kami hindari.
Pada dasarnya, kami berada di jalan
buntu. Kami tidak bisa meninggalkan rumah pada saat yang sama, jadi siapa yang akan
meninggalkan rumah lebih dulu?―yah, kami sedang bernegosiasi dan menangkis satu
sama lain untuk memutuskan itu.
Mengapa kami tidak membicarakannya secara langsung
saja? Mana mungkin. Mana mungkin dia mau.
“-Eh? Yume, Mizuto-kun, apa yang
kalian berdua lakukan?”
Yuni-san, dengan mengenakan pakaian jas
yang rapi, muncul dari ruang ramu. Dia menjadi ibuku minggu lalu. Dengan kata
lain, dia menikahi ayahku―dan dia adalah ibu dari gadis ini.
“Apa kalian tidak akan pergi keluar?”
“Iya aku akan pergi keluar.”
‘Sampai jumpa’, aku mengatakan
itu dan berjalan keluar, tapi Yuni-san berkata,
“Ah, apa kalian berdua akan pergi ke
toko buku di Karasuma Dori? Kudengar kau juga kutu buku, Mizuto-kun~! Apakah
kau akan pergi bersama Yume? Gadis ini hanya pergi ke toko buku atau
perpustakaan.”
“......Errr”
“Tunggu, bu...”
“Ah, apa kalian berdua akan pergi
bersama? Aku senang, Mizuto-kun! Kau tampaknya akur dengan Yume! Tolong terus
jaga dia ya. Gadis ini sedikit pemalu~”
“Y-ya....”
Aku hanya bisa setuju setelah dia
berkata begitu. Aku merasakan tatapan membunuh di sampingku.
“Sekarang, aku akan pergi bekerja. Kalian
berdua, cepatlah pergi! Akrablah sebagai saudara!”
Yuni-san meninggalkan kata-kata itu
dan menghilang dari pintu. Setelah itu, hanya aku dan dia yang tertinggal berdua.
Memang kami adalah saudara. Tapi, saudara
tiri.
Orang tua kami menikah lagi, jadi *dia
tinggal dengan kami.
(TL note: si ‘dia’ yang dimaksud
disini adalah Yume yang pindah ke rumahnya Mizuto bersama Yuni-san)
“Kenapa kau menyetujuinya?”
“Aku tidak punya pilihan. Cuman itu yang
bisa kukatakan.”
“kenapa aku membutuhkanmu untuk
menjagaku?”
“Menjagamu? Aku tidak peduli
denganmu.”
“Sikap pasifmu itulah yang aku benci
darimu, dasar otaku menyebalkan.”
“Keegoisanmu itulah yang aku bnci
darimu, dasar maniak menyebalkan.”
Tapi orang tua kami tidak tau.
Yume dan aku satu-satunya yang tahu
tentang hubungan kami yang sebenarnya.
Aku, Mizuto Irido―
Dan gadis yang di sampingku, Yume
Irido―
Kami sebelumnya pacaran sampai dua
minggu yang lalu
v
Bisa dikatakan kalau aku masih muda
dan bodoh. Tetapi aku memiliki keberadaan yang disebut pacar antara tahun kedua
dan ketigaku di SMP.
Momen yang benar-benar bisa disebut
pertemuan kami itu sebelum liburan musim panas, akhir Juli, saat sore di
perpustakaan kosong, dia berdiri menatap buku di rak tinggi.
Ini adalah situasi yang benar-benar
klise, ketika aku memikirkan kembali. Mudah untuk menebak apa yang akan terjadi
selanjutnya; aku mengambil buku itu dan memberikannya padanya.
Jika aku bisa kembali ke waktu itu,
aku sangat ingin mengatakan kepada diriku yang di masa lalu untuk mengabaikan
saja gadis itu.
Tapi aku tidak bisa memprediksi masa
depan, dan begitu aku melihat sampul buku yang dia raih, dengan bodohnya aku berbicara
dengannya.
――Apa kau suka novel tentang detektif
juga?
Aku benar-benar bukan maniak genre
misteri. Aku adalah seoarang pembaca omnivira―Aku membaca apa saja, baik itu
sastra murni, romansa, light novel, novel. Tentu saja, aku tahu judul novel
detektif klasik yang aku ambil.
Hanya saja, ketika aku tahu novel itu, aku tidak bisa tidak mengatakan kalau ‘aku menyukai itu’.
Bagaiamanapun, aku yang kutu buku ini merasa senang melihat orang lain mengambil buku yang pernah aku baca. Ini seperti banteng yang bersemangat ketika melihat warna merah, dengan dorongan yang tidak bisa dikendalikan, dan terperangkap dalam jebakan yang dipasang oleh Dewa.
Ya, itu adalah jebakan yang dibuat
oleh Dewa. Dengan kata lain, takdir.
Kami mengalami pertemuan yang
ditakdirkan. Dengan begitu, kami menjadi akrab satu sama lain. Bertemu satu
sama lain di perpustakaan yang bisanya tidak orang kunjungi selama musim panas.
Saat Agustus berlalu, dengan liburan musim panas yang hampir berakhir, aku
menerima pengakuannya.
Dan juga, untuk pertama kalinya dalam hidupku,
aku memiliki sesuatu yang disebut pacar.
Yume Ayai. Itulah namanya pada saat
itu.
Sekarang, tanpa perlu aku
mengatakannya, ini adalah awal dari kehancuran.
Ngomong-ngomong, kemungkinan cinta
pasangan SMP yang langgeng tidak lebih dari 5%, kurasa―melihatnya secara
realistis, itu tidak biasa bagi pasangan SMP untuk tetap bersama selama sisa
hidup mereka.
[ED Note: couple di Tsuki ga Kirei
masuk 5% yang langgeng.]
Meski begitu, kami pikir kami akan
bisa langgeng.
Kami tidak teralu menonjol di sekolah,
jadi Ayai dan aku memliki hubungan yang tenang. Kami berada di sudut
perpustakaan sekolah, atau di perpustakaan umum saat hari libur, atau di kafe
toko buku. Kami hanya berbicara mengenai minat kami.
Tentu saja, kami melakukan apa yang
dilakukan oleh sepasang kekasih. Kami pergi berkencan, berpegangan tangan, dan berciuman
dengan canggung―tidak ada yang spesial untuk ditulis. Hanya beberapa event
biasa di antara pasangan yang kami lakukan secara berurutan. Ciuman pertama
yang kami lakukan adalah di persimpangan jalan menuju sekolah, di bawah
matahari terbenam. Itu lebih seperti goresan di dekat mulut, dan wajah Ayai
yang tersenyum dan memerah yang terukir di pikiranku layaknya sebuah foto.
Hanya ada satu hal yang bisa aku
katakan tentang foto itu.
Mati.
Gadis itu bisa mati, begitu pula
denganku.
[ED Note: kebiasaan Mizuto ketika
lihat foto yang pertama ada dalam pikirannya adalah kematian.]
Ngomong-ngomong, hubungan kami saat
itu berjalan mulus, tetapi ketika kami memulai tahun ketiga SMP kami, sebuah masalah
muncul di antara kami.
Itu karena Ayai yang telah
meningkatkan kemampuan komunikasinya secara menakutkan.
Kukira itu karena sejak kami
berkencan, dia meningkatkan kemampuannya untuk berkomunikasi―dia memiliki
beberapa teman di kelas barunya. Itu adalah perubahan yang agak jelas
dibandingkan dengan tahun keduanya, ketika dia tidak menemukan satu pasangan
pun di kelas olahraga.
Dia sangat senang dengan dirinya
sendiri, dan aku mengucapkan selamat kepadanya sebagai basa basi.
Ya, basa basi.
Apa yang hatiku rasakan saat itu―di sinilah
saatnya aku mengaku. Sambil memberkati pertumbuhannya dalam kata-kata,
keinginanku untuk memonopolinya secara tidak sadar muncul.
Entah itu keimutan Ayai, senyumannya,
kemurahan hatinya, seharusnya akulah satu-satunya yang tahu semua itu. Itu
sangatlah buruk.
Sebelum aku menyadarinya, aku mulai
menyuarakan emosiku ke dalam kata-kataku. Ayai tidak terganggu oleh itu, dia
tidak mengerti, tapi dia masih bekerja keras untuk membuatku bahagia. Dan Kemudian,
itu menyentuh sarafku.
Ya, aku tahu. Sebagian alasannya
adalah karena pertumbuhan Ayai, tetapi alasan sebenarnya ialah karena keinginan
bodohku untuk memonopolinya untuk diriku sendiri. Dia tidak melakukan kesalahan
apa pun. Aku adalah orang yang paling salah pada awalnya. Aku mengakuinya.
Tapi, yah.
Tolong biarkan aku merenungkan diriku
sendiri. Aku bodoh, dan begitu aku menyadari kesalahanku, aku meminta maaf
padanya, dan menundukkan kepalaku. Aku cemburu padanya karena alasan seperti
itu, aku akan meminta maaf karena marahnya padanya tanpa ada alasan yang jelas,
aku berharap dia memaafkanku.
Namun, gadis itu. Kau tau apa yang dia
katakan?
Kau tidak suka melihatku bergaul dengan
orang lain, tapi kau malah akrab dengan gadis-gadis lain?
Haahh?
Siapa yang bisa menyalahkanku jika
membuat respon seperti itu?
Menurutnya, aku sedang menggoda
gadis-gadis lain di perpustakaan, tempat biasanya kami bertemu―meskipun aku
tidak ingatan itu. Mungkin itu penjaga perpustakaan atau gadis lain yang aku
ajak bicara, tapi Ayai bersikeras menganggap kalau aku selingkuh, dan bahkan
dia tidak mau mendengarkanku.
[ED Note: sebenarnya bakal menarik
kalo mereka bertemu sama gadis itu lagi, semoga aja ada di vol. 7 atau lebih.]
Pada dasarnya aku tidak harus meminta
maaf untuk apa pun. Untuk apa?
Memang benar aku salah karena
membuatnya marah. Aku minta maaf, dan menundukkan kepalaku. Apakah dia
memaafkanku, itu terserah dia.
Tapi mengapa aku harus dimarahi hanya karena
kesalahpahaman yang konyol dan asumsi yang tidak berdasar?
Tidak, tidak, yah, mungkin hal semacam
ini terjadi karena dorongan hati. Aku meminta maaf karena itu terjadi padaku sebelumnya.
Jika tidak, maka dia seharusnya meminta maaf padaku, seperti yang aku lakukan
padanya, bukan? Aku dipaksa untuk mengakui kesalahanku, tapi dia bahkan tidak
meminta maaf padaku. Bukankah itu salah? Bukankah itu aneh?
―Itulah yang aku rasakan, dan kami
telah berusaha memperbaiki keadaan itu, mempertahankan hubungan kami selama
beberapa bulan.
Begitu ada penyok di antara roda gigi
yang terhubung, tidak mungkin itu bisa diperbaiki lagi.
Apa yang aku pkirkan setelahnya adalah
nilai pesonanya menjadi sangat menjengkelkan. Kami mulai saling menusuk dengan
kata-kata sinis. Dan sebelum kami menyadari, bahkan panggilan telepon adalah
siksaan. Tapi kami masih tidak bisa memaafkan pihak lain karena tidak menjawab,
dan ini meningkatkan kerenggangan di antara kami.
Hubungan kami berlangsung sampai lulus
dari SMP, tapi itu karena kami berdua terlalu khawatir. Tak satu pun dari kami
memiliki keberanian untuk memperbaiki atau mengakhiri hubungan kami.
Itu semua karena kami berpegang teguh
pada kenangan indah. Tetapi, ketika kami tidak saling menghubungi bahkan di
hari Valentine, disaat itulah kami diyakinkan. Mana mungkin kami bisa kembali
seperti dulu.
Dan pada saat hari kelulusan, aku
berkata,
―Ayo kita putus.
―Mn.
Cepat dan simpel. Tak ada satu tetes
air mata pun yang tumpah.
Dia tidak marah, dan dia menatapku
seperti dia menungguku untuk mengatakan itu. Kurasa wajahku menunjukkan hal
yang sama.
Aku suka itu..... Aku sangat menghargai
itu.
Tapi bagiku, dia tampak seperti musuh
bebuyutan.
...Serius, cinta itu hanyalah sebuah
momen kebodohan.
Setidaknya aku dibebaskan dari
kebodohan itu.
Dengan senang hati aku menikmati
kelulusanku dari SMP, aku merasa seolah-olah beban berat yang kupikul telah diangkat
dariku.
Kemudian, pada malam itu.
Ayah berkata dengan tatapan serius.
―Ayahmu ini berencana untuk menikah
lagi.
Oho.
Yah, manusia tidak bisa diselamatkan
karena melakukan kebodohan seperti itu di usianya saat ini. Ayah seorang diri
membesarkanku, dan sementara aku sedih tentang keputusannya untuk menikah lagi,
aku tak bermaksud untuk menentang pernikahan ayahku. Menikah lagi? Itu Bagus.
Terserahlah. Lagi pula aku sudah lulus dari SMP.
Aku sangat bahagia saat itu. Apa yang
ayahku katakan selanjutnya menusuk telingaku.
―Dia memiliki seorang putri
seumuran denganmu....Apa itu tidak masalah?
Oi oi, saudari tiri seumuran denganku?
Ini seperti novel ringan!
[ED Note: tolong yang tahu komen judul
LN yang MC-nya punya saudara tiri seumuran. Setauku bahkan “Gimai Seikatsu” dan
“Kanojo no Imouto” itu baru rilis setelah LN ini.]
Aku merasa sangat gelisah saat itu.
Aku mungkin telah kehilangan ketenanganku.
Dan ketika aku dibawa untuk bertemu
ibu tiri dan saudara tiriku, aku merasa seperti air dingin disiramkan ke
wajahku.
―......
―......
Yang berdiri disana adalah Yume Ayai.
Tidak.
Pada saat itu, dia telah menjadi Yume
Irido.
Kami saling menatap tercengang, mulut
kami ternganga, dan hati kami pasti meneriakkan hal yang sama.
―Sialan kau Dewa!!!!
Dan, mantan pacarku menjadi saudara
tiriku
v
“Aku selesai makan.”
Ayai―tidak, Yume berkata dengan dingin
sambil menumpuk peralatan makan, dan membawanya ke dapur.
Sial. Ini waktu yang buruk. Aku baru menyelesaikan
makan juga. Tapi aneh bagiku untuk meninggalkan meja seperti ini.
“Aku juga selesai.”
Aku juga menumpuk peralatan makanku,
dan bergerak menuju dapur. Tepat di depanku adalah Yume, yang sedang mencuci
piringnya sendiri.
Rambut panjangnya yang menyebalkan dan
berwarna gelap. Dia terlihat kurus tidak sehat, dan aku pikir dia lebih baik di
sumur dibanding di dapur, menghitung piring dibanding mencucinya.
Bulu matanya panjang dan terkulai, dan
dia memelototiku. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya ada suara piring yang
sedang dicuci.
Tidak ada yang bisa aku katakan, jadi
aku berdiri di sampingnya, dan mulai mencuci piring juga.
Aku bisa saja menghindari gadis yang
berdiri di sampingku di dapur ini, tapi ada masalah ketika menghindarinya
secara langsung. Itu karena―
“Ya ampun, aku khawatir apa yang akan
terjadi jika anak laki-laki dan anak perempuan pada usia ini hidup bersama,
tetapi mereka berdua sangat akrab, ini di luar dugaanku.”
“Itu benar! Kau tahu, Mizuto-kun baru
saja pergi ke toko buku bersama Yume! Aku kira mudah bagi mereka untuk akrab
ketika mereka memiliki minat yang sama.”
“Aku juga lega. Inilah yang paling kita
khawatirkan.”
Ayahku dan ibunya Yume sedang
mengobrol dengan gembira di meja makan. Keduanya baru saja menikah lagi, dan
mereka terlihat bahagia setiap hari―tidak seperti kami, anak-anaknya.
“...Kau dengar itu?”
“...Apa?”
Yume berbisik dengan suara air untuk
menyamarkan suaranya.
“Kita tidak bisa membiarkan mereka menyesali
keputusan mereka menikah sama sekali.”
“Aku mengerti. Aku akan membawa
hubunganku denganmu ke kuburan.”
“Tolong lakukan.”
“....Kau selalu melihatku dengan mata
yang sombong. Sejak kapan kau mulai jadi begini?”
“Aku tidak akan begini jika tidak ada
kejadian seperti itu di masa lalu, itu 100% salahmu.”
“Hah?”
“Apa?”
“Oi! Kalian berdua! Apa yang sedang
kalian bicarakan!?”
Kami mendengar suara ayah dari ruang
makan, dan menyembunyikan kebencian kami.
“Hanya hal-hal sepele, kami berbicara
tentang buku yang kita beli, cuman hal-hal sepele kok.”
“Eh, ya, tentu saja. Kita sekarang
sedang membicarakan tentang buku kok.”
“―Ohh.”
Yume menjawab dengan keras dan jelas,
dan menendangku pelan dari tempat yang tak bisa dilihat.
“(Kau tidak perlu mengatakan ‘hal-hal sepele'
sebanyak dua kali. Apa nilai bahasa Jepang modernmu itu baik-baik saja?)”
“(Kebetulan aku masuk peringkat 100
besar untuk ujian nasional bahasa Jepang modern. Kau tahu itu kan?
“(....Menjengkelkan. aku menyesal
telah mengatakan ‘Luar biasa’ dan memujimu saat itu.)”
“(Seharusnya aku yang marah pada
diriku sendiri karena senang menerima pujian darimu.)”
Pada saat ini, kami bertindak sebagai
saudara tiri yang akur. Kami tidak akan membiarkan ayah dan Yuni-san mengetahui
hubungan yang kami miliki sebelumnya, dan membuat mereka menyesal telah menikah
lagi. Itu adalah satu pemahaman umum yang Yume dan aku sepakati. Hanya itu,
kami tidak pernah sepakat untuk hal-hal lain.
+×+×+×+
Aku kembali ke kamarku, kembali
membaca buku yang baru aku beli.
tok tok, ada ketukan
di pintu kamarku.
“Ayah? Ada apa?”
Tidak ada jawaban. Aku tidak ingin
merusak kehidupan pernikahan baru mereka hanya karena tanggapanku yang ceroboh―jadi
aku menyelipkan penanda buku, dan membuka pintu.
Yang berdiri di koridor adalah seorang
gadis yang paling aku benci di dunia ini.
Dengan kata lain, Yume Irido.
“...Apa?”
Suhu tubuhku saat mengatakan “apa”
mungkin turun menjadi sekitar 100 derajat celsius saat aku bertemu dengan Yume
di pintu.
“Hmph.” Yume mendengus sambil
terkekeh, seolah berkata, “Kata-kata dingin darimu ini tidak berarti apa-apa.”
Jika aku bisa menutupi perasaanku
dengan lapisan demi lapisan *oblaat, aku akan mengatakan ini, ‘aku ingin
meninju dia’.
(TL: aku kurang tau kata oblaat, bagi
teman-teman yang tau tulis di kolom komentar ya^^)
“Ada yang ingin aku katakan padamu.
Apa kau punya waktu luang sekarang?”
“Kau pikir aku punya waktu luang? Kau
tau apa yang baru saja aku beli hari ini, bukan?”
“Aku tahu. Itu sebabnya aku datang
kesini. Aku sudah selesai membaca itu.”
“Tch.”
Sepertinya dia datang kesini untuk
menghentikanku membaca. Kami sudah lama mengenal satu sama lain; dia selalu
lebih cepat dariku dalam hal membaca. Jika kami membeli buku yang sama dan
mulai membaca pada saat yang sama, gadis ini akan selalu menyelesaikan bukunya
saat aku masih membaca klimaksnya. Itu benar-benar membuatku kesal.
Itulah yang aku benci darinya. Syukurlah
kami putus.
“Apa?”
“Biarkan aku masuk. Aku tidak mau
ibuku mendengar ini.”
“Tch.”
“Bisakah kau tidak mendecakkan lidahmu
begitu keras?”
“Tentu, selama kau menghilang di depan
mataku.”
“Tch.”
Setelah memastikan bahwa ayah dan
Yuni-san tidak ada, aku membiarkan Yume masuk ke kamarku.
Yume menatap kakinya saat dia masuk
ruangan.
“Kamar ini sangat kotor dengan semua
buku tergeletak dimana-mana. Aku merasa jijik padahal baru masuk.”
“Ketika ayah melakukan perjalanan
bisnis terakhir kali, matamu berkilauan seperti ‘Wah luar biasa....! ini
seperti gudang arsip!’.”
“Saat itu sangat membosankan. Aku
merasa sangat bersemangat hanya ketika melihat koleksi penuh seri Sherlock
Holmes yang disatukan dengan rapi seperti ini.”
“Lalu matilah. Aku akan melemparmu ke
air terjun seperti yang dilakukan Profesor Moriarty.”
[ED Note: Moriarty, musuh Holmes.]
Aku menghela napas, dan duduk di
tempat tidur yang setengah tertutup oleh buku-buku.
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?”
“Sudah cukup.”
Yume mengatakan itu sambil berdiri di sana
dengan ekspresi dingin di wajahnya.
“Aku tidak tahan lagi―berapa lama lagi
aku harus terus mendengarmu memanggilku ‘Yume-san’?”
Aku mengerutkan kening. Tidak perlu
menyembunyikan ketidaksenanganku pada wanita ini.
“Bukannya kau sendiri memanggilku
‘Mizuto-kun’?”
“Aku baik-baik saja dengan siapa pun
yang memanggilku seperti itu, kecuali kau. Aku tidak tahan mendengarmu
memanggilku seperti itu. Bahkan ketika kita masih SMP, aku tidak mengizinkanmu
memanggilku seperti itu.”
Seperti dia benci mengatakan ‘ketika
kita berpacaran’. Jadi begitu, jadi begitu.
“Yah, sayang sekali kita memiliki nama
keluarga yang sama sekarang. Lalu aku harus memanggilmu apa?”
“Ada, kan? Panggilan yang cocok.”
“Seperti apa?”
“Onee-chan.”
“...Hah?”
“Kita ini bersaudara, jadi kau harus
memanggilku ‘Onee-chan’, oke?”
“Tidak tidak, tunggu dulu, tunggu dulu.”
Aku memegangi kepalaku.
“Kau? Kakak perempuanku?.... Sudah cukup
omong kosongmu ini. Itu terbaik, kan?”
“Hah?”
“’Onii-chan’. Aku adalah kakak
laki-lakimu. Sudah jelas kalau kau itu adik perempuanku.”
Omong kosong apa yang dia bicarakan?
“Oh Tuhan. Sepertinya sel-sel otak
adik tiri laki-lakiku ini sedang berhibernasi.”
“Bagaimana kalau aku membuatmu tidur,
selamanya?”
“Biar aku jelaskan karena aku masuk
peringkat 100 besar ujian nasional matematika. Dengarkan.”
Dia lebih baik dalam pelajaran
matematika dibanding bahasa Jepang modern, dia tidak tampak seperti seorang kutu
buku. Ini tak bisa dimaafkan.
Yume mengacungkan jari telunjuknya,
bertingkah seperti seorang guru.
“Pertama mereka yang dilahirkan lebih dulu ke dunia ini
ditentukan sebagai yang lebih tua. Kedua, aku lahir lebih dulu daripada kau.
Jadi aku adalah kakak perempuanmu. Itu kesimpulannya, mengerti?”
Yume dengan sembrononya menggambarkan
sesuatu yang bukan matematika, tetapi logika. Tapi yang lebih penting, ada
sesuatu tentang apa yang baru saja aku dengar yang tidak bisa aku abaikan
begitu saja.
“....Kalau aku tidak salah, ulang
tahunmu dan ulang tahunku sama persis, bukan?”
Yap, itu jebakan lain dari Dewa. Gadis
ini dan aku lahir pada tahun yang sama, bulan yang sama, dan hari yang sama.
Karena itu, kami sangat akrab, dan
masih banyak lagi; aku masih memiliki kenangan kelam saat mengucapkan kata-kata
menakutkan ini, ‘sekarang kita bisa merayakan ulang tahun kita bersama’, dan
melakukan ritual terkutuk dengan bertukar hadiah. Aku ingin mengunci ingatan
tentang itu dan membuangnya ke tempat sampah.
“Jadi kita seharusnya tidak saling
memanggil satu sama lain sebagai kakak dan adik.”
“Tapi bukankah kau baru saja dengan
keras menyatakan kalau aku adalah adik perempuanmu, kan?”
Aku hanya lebih ingin memiliki adik perempuan
tiri dibanding kakak perempuan tiri, itu saja. Tidak ada maksud lain.
“Ngomong-ngomong, tidak ada yang salah
dengan apa yang baru saja aku katakan. Kita lahir pada tanggal yang sama
persis―tetapi waktunya tidak.”
“Waktunya?”
“Aku ingin kau melihat ini.”
Dia terdengar seperti polisi saat dia mulai
mengoperasikan smartphone-nya, dan menunjukkan padaku.
“Lihat.”
Ada foto bayi di layar. Itu adalah
foto dari album, dan ada kata-kata di dalamnya.
“Kau lahir pada jam 11.34 pagi”
Yume mengusap layarnya dan menunjukkan
foto bayi lainnya, menunjuk pada waktu yang tertera.
“Dan menurut foto ini, aku lahir
setidaknya sebelum pukul 11.04 pagi. Aku lebih tua darimu setidaknya 30 menit.
Kau mengerti?”
[ED Note: orang yang gak tau kalo mereka
itu saudara tiri pasti mikirnya mereka itu kembar, dari ciri rambut dan mata
aja udah sama, ini lagi lahir Cuma beda 30 menit.]
Apakah itu benar? Apakah dia baru saja
mencari album foto keluargaku? Hanya untuk menyelidiki ini?
“Menyeramkan.”
Aku mengungkapkan pikiranku dengan
jujur, dan Yume tiba-tiba mulai memerah.
“Ke...kenapa? Masalah ini membutuhkan
bukti yang kuat, bukan?”
“Kecenderungan maniak misterimu itu
bocor. Tidak bisakah kau bermain teka-teki saja daripada memperlakukan masalah
ini sebagai misteri yang harus dipecahkan?”
“Wah, kau mengatakannya! Kau telah
menyatakan perang terhadap semua penggemar misteri di dunia! Ayo maju!?”
“Yah kau menyebutnya hal-hal yang adil
atau tidak adil, tapi kau bahkan tidak pernah mencoba memecahkan misteri dari
novel sebelum terungkap. Jika aku mengikuti logikamu, sayang sekali, kau masih memiliki
banyak kekurangannya.”
“Apa maksudmu, dasar cacat!? Kau
sedang berbicara tentang mata busukmu itu kan!?”
Si maniak cerita detektif ini mengamuk
karena menerima luka di tempat yang tepat (dan dia juga tipe yang mengabaikan
semua tantangan yang diberikan oleh penulis untuk pembaca), jadi aku membatah,
“Kau bilang ‘mereka yang dilahir lebih
dulu di dunia ini ditentukan sebagai yang lebih tua’. Itu suatu kondisi, tetapi
ada kesalahpahaman. Di Jepang kuno, ketika ada anak kembar, yang pertama lahir
dianggap sebagai adik.”
“Eh? Kenapa?”
Yume mulai terlihat tertarik, dan
sedikit memiringkan kepalanya,
“Ada yang mengatakan bahwa yang lahir
lebih dulu itu membuka jalan bagi saudaranya yang lebih tua, dan ada yang
mengatakan bahwa yang lahir terlambat kedudukannya lebih tinggi di dalam rahim.
Ada banyak pepatah, tapi bagaimanapun, jika kita menganggap hubungan saudara
tiri kita seperti saudara kembar karena kita lahir pada hari yang sama, maka
kau adalah adik perempuanku, sejak kau lahir. Benarkan, apa ada yang bisa
disangkal?”
“K-kita bahkan bukan saudara
kembar...”
“Jika kau ingin mengatakannya seperti
itu, kita bukanlah saudara kandung. Kita hanyalah tagalong dari orang
tua kita.”
[ED Note: tagalong, orang
tambahan, seseorang yang pergi ke suatu tempat atau melakukan sesuatu dengan
orang lain, terutama ketika mereka sebenarnya tidak diundang. (Cambridge
Dictionary)]
“Uuuu....uu~~~.”
Yume mulai menggerutu tentang sesuatu
dalam penyesalan saat dia memelototiku. Hahaha, sekarang kau *bersujud di
hadapanku.
[ED Note: kalah.]
“...Tidak, tunggu sebentar?”
“Tidak ada kata tunggu sebentar. cepat
keluar.”
“Topik tentang urutan saudara kembar
itu adalah cerita kuno, bukan? Bukankah itu tidak relevan saat ini....?”
“....Cih. tidak bisakah kau diam saja ketika
dibodohi olehku?”
“Ahhh!? A-apa kau menipuku!?”
“Bagaimanapun, aku kakak laki-laki. Oke,
*Q.E.D. kasus ditutup.”
(TL note: https://id.wikipedia.org/wiki/Q.E.D.)
“Aku kakak perempuan! Kau tahu betapa
menyedihkannya menjadi adik perempuanmu?”
Kami saling melotot. Dengan itu, aku
akan mengatakan bahwa bunga api beterbangan di antara kami. Saat ini, tidak
salah untuk mengatakan bahwa kami bentrok seperti dalam karya Futaro Yamada,
saling menebas, dan darah beterbangan di mana-mana.
Mata Yume sudah sangat serius, dia
seperti Shiro Amakusa di Makai Tensho. Aku menatap dia, menghela nafas, dan
menghentikan postur bermusuhanku.
“Masalah ini tidak akan selesai kalau
kita hanya terus saling melotot. Bagaimana kalau kita selesaikan ini dengan
sebuah permainan? Itulah yang dilakukan oleh orang-orang rasional.”
“Aku kesal mendengarmu mengatakan itu,
tapi itu masuk akal.”
“Jadi apa yang akan kita lakukan?
Batu-gunting-kertas? Mencabut undian? Lempar koin?
“Tunggu sebentar.”
“Tidak ada kata tunggu sebentar. Cepat
keluar.”
“Berhentilah menjawab seolah-olah kau
sedang membalas secara otomatis, oke!?”
Ups, aku lupa mematikan bot.
[ED Note: mulutnya dah ter install bot
wkwkwkw.]
Yume meletakkan tangannya ke mulutnya,
“Sekarang...” dan berkata dengan bijak.
“....Jadi, bagaimana?
“Aku sangat ingin menyangkalnya dengan
semua yang kumiliki, tapi syukurlah aku adalah manusia yang rasional. Aku akan
mendengarkanmu.”
“Kau membuatku kesal....tapi kita
harus menyembunyikan hubungan kita yang sebenarnya mulai sekarang, dan kita
harus bertindak seperti saudara tiri yang akrab. Kau mengerti sejauh ini kan?”
“Sayangnya, ya.”
“Sepertinya tidak akan ada masalah
sekarang, tapi kita mungkin akan secara tidak sengaja mengungkapkannya di masa
depan nanti―dengan kata lain, tidak bertindak seperti saudara tiri, kau tahu?
Bagaimana dengan orang yang melakukan itu terlebih dahulu dia yang kalah?”
“....Apa kau yakin?”
“Apanya?”
“Jika kita mengikuti aturan itu, tentu
saja aku akan menang.”
“Apakah kau menganggapku tolol?”
Sebenarnya, itu kesimpulan yang logis
jika kita mengikuti fakta itu.
“Yah, tak masalah bagiku, itu
memberiku rasa tegang, dan bisa membantu menyembunyikan hubungan
kita....sebagai catatan, ini berlaku bahkan tanpa adanya ayah atau Yuni-san,
kan?”
“Tentu saja. Itu berlaku sekarang ini
juga.”
“Begitu. ‘jadi orang yang mengatakan
sesuatu yang tidak seperti saudara tiri akan menjadi adik’ ya?”
“Satu kekalahan berarti yang kalah
harus menjadi adik sekali. Kita akan membahas detailnya nanti.”
“Mari kita lakukan.”
”Baiklah, sekarang―mulai!”
Pak, Yume bertepuk tangan.
Yume dengan cepat menuju ke rak
bukuku, dan secara alami mulai mencari sesuatu di sana.
“Tunggu....apa yang kau lakukan!?”
“Eh~? Ini normal, bukan? Bagaimanapun,
kita ini saudara~.”
Gadis ini menyeringai bahagia, dan
saat itulah aku menyadari maksud sebenarnya di balik aturan ini.
Jika itu adalah sesuatu yang dianggap
normal di antara saudara, aku tidak boleh terlihat kesal bahkan jika aku
membenci apa yang dia lakukan, karena itu ‘bukan sesuatu yang akan dilakukan
oleh saudara’.”
Dengan kata lain....aturan yang satu
ini hanyalah kartu bebas dari penjara baginya untuk melakukan apa pun yang dia
inginkan!
G-gadis ini....! Dia membuat aturan
seperti itu untuk alasan ini!? Dia sangat busuk sampai ke akar-akarnya! Jika
ada seorang cowok yang jatuh cinta kepada gadis busuk ini, maka cowok itu pasti
juga busuk sampai ke akar-akarnya!
Uh oh.
Aku memelototi gadis itu saat dia
mengeluarkan sebuah buku dari tas sekolah, mengucapkan ‘hmph’, ‘heh’, ‘wah’ dan
semacamnya, dan aku merasakan bahaya di hatiku.
Mempunyai seseorang yang memeriksa rak
bukuku, aku mulai sedikit gelisah. Untungnya, tidak ada yang tidak enak dilihat
di sana. Paling-paling, hanya beberapa light novel erotis.
Masalahnya adalah.....di meja yang
kugunakan untuk belajar.
Meja itu dianggap sebagai satu-satunya
*kotak pandora di kamarku. Isinya novel yang aku tulis saat masih SMP, *barang-barang
yang aku beli dari toko obat ketika kepalaku menjadi pusing ― dan juga hadiah
yang aku terima dari gadis ini ketika kami masih berpacaran!
[ED Note: be the one~ be the one~]
[ED Note: Peringatan
Spoiler! Kalau Mizuto sudah punya novel yang ditulis waktu SMP
ngapain di vol. 5/6 malah novel yang baru ditulis yang dia tunjukin ke Yume.]
[ED Note: *barang-barang, alat kontrapersepsi
:v]
Saat memikirkan dia melihat hal-hal
itu, ini terlintas di pikiranku―
“Wah, kau masih memiliki benda ini
disini? Apakah kau masih memikirkan tentangku? Eh~? Sungguh, jangan lakukan
itu~! Menjijikkan~!”
Aku bisa membayangkan kalau itu akan
terjadi.
Jika ini terus berlanjut, hanya
masalah waktu sampai Yume mengarahkan perhatiannya ke mejaku. Aku perlu
mengalihkan perhatiannya selagi aku masih bisa, dan dengan cara yang tidak akan
terasa aneh di antara saudara tiri!
Aku mencoba memikirkan terobosan,
memobilisasi semua sel otakku. Ini adalah pertama kalinya aku menggunakan
otakku begitu banyak sejak ujian masuk SMA.
Tetapi kemudian, aku kira usahaku
untuk berpikir keras tentang hal itu terbayar―memungkinkanku untuk mengetahui
bagaimana menggunakan ‘aturan saudara’ ini dengan cara lain.
“―....Biarkan aku istirahat.”
Mendengar suara lemah dari mulutku,
rambut hitam Yume bergoyang saat dia berbalik ke arahku.
Aku berdiri dari tempat tidur,dan
menatapnya. Dia mulai terlihat sedikit gelisah saat dia melihat wajahku.
“Serius, aku tidak ingin bertengkar
denganmu...”
“Eh...”
Mata Yume melebar saat memantulkan
tatapan anehku.
“Aku akan minta maaf jika kau masih
marah. Aku akan menghilang dari pandanganmu. Jadi.... bisakah kita berhenti
bertengkar seperti ini?”
Aku meletakkan tanganku di bahunya,
dan memberitahunya dengan suara paling serius yang bisa kubuat.
Mata Yume berkeliaran, dan sekali
lagi, dia menatap mataku.
Mata besar itu sedikit goyah. Dia
menatap wajahku dengan tatapan kosong, keraguan di wajahnya pun mulai
menghilang.
Kemudian, matanya terfokus pada tatapan
seriusku―
“......Irido, kun......”
“Baik, kau sudah kalah.”
“Eh...?”
Aku tersenyum pada Yume saat mulutnya
sedikit menganga.
“Saudara itu, tidak memanggil satu
sama lain dengan nama keluarga.”
Yume tampak tercengang, dan perlahan
seperti air panas yang dicelupi kantong teh, wajahnya mulai memerah.
Aku membuat gadis ini mengingat
hubungan masa lalu kami―dan kukira dia menyadari kalau ini adalah cara untuk
memenangkan permainan ini.
“....Ka-kalau begitu.... kau juga kalah,
kan?”
“kalah gimananya? Bukankah masuk akal
jika tidak bertengkar? Lagipula, kita ini kan saudara.”
“Ahhhhhhhhhh!!! .....
Uuuuuuuuuuuu.....!”
Telinga ‘adik tiriku’ memerah, dan aku
menatapnya dengan gembira.
“Jadi.....seperti yang dijanjikan,
sekarang kau adalah adik tiriku, kan?”
“Apa yang kau inginkan.....!?”
“Jangan selipkan ekormu dan kabur.
Lagian, apa yang kau pikirkan tentang saudara tiri ini?”
Aku sangat ingin mempermalukan gadis
ini sepuasnya, tetapi ada batasan untuk apa yang boleh kulakukan. Kami akan
meninggalkan gagasan adik tiriku membersihkan telingaku untuk waktu berikutnya.
“Yah, karena ini yang pertama, mari
kita buat mudah dulu, ubah caramu memanggilku.”
“Ma-mau dipanggil kayak gimana...?”
“Sakarepmu (terserah kau).”
[ED Note: translator e wong jowo
ternyata.]
Mari kita liat apa yang kau bayangkan
tentang saudara tiri ini. HAHAHAHAHAHA! Yippee ay ay! (Aku mulai membuka mulut
lebar-lebar dan meneguk anggur merah).
[ED Note: itu imajinasi momen
kemenangan Mizuto.]
“Uu~....” jelas Yume terlihat tidak
senang, matanya berkeliaran lesu saat dia meletakkan kepalan tangannya di
dadanya―dia menatapku dengan wajah yang memerah dan malu.
Suara yang gemetar dan lembut terdengar di telingaku.
“..............”
Aku memalingkan wajahku ke samping.
“P-pelanggaran! Reaksimu itu melanggar
bukan? Kau tidak seharusnya tersipu malu ketika dipanggil oleh saudaramu.”
“...Aku tidak tersipu malu.”
“Kau tersipu malu! Kau pikir sudah
seberapa sering aku melihat reaksi wajahmu itu!?”
“Aku tak tau. Mungkin kau salah orang.
Kupikir pertemuan pertama kita itu beberapa hari yang lalu?”
“Kau curang! Curang curang curang
curang curang curang curang curang!!”
Yume menginjak-injak lantai layaknya
anak kecil, dan aku berusaha untuk tidak menoleh kearahnya. Wajahku tidak terasa
panas, jantungku tidak berdetak kencang,
dan aku tidak ingin dia memanggilku seperti itu lagi. Tapi aku tidak bisa
memaksakan diri untuk memalingkan wajahku ke arahnya.
Kemarahan Yume pun terus meningkat,
tapi itu menjadi terlalu berlebihan.
“Yume~? Ada apa ribut-ribut disana~?”
Aku mendengar suara Yuni-san dari
bawah. Suara itu membuatku lega, dan aku memaksakan senyum, dan bertindak seperti
seorang pemenang.
“Waktu habis.”
“Grrr.....!”
“Yah, pelajaran yang bisa dipetik di sini,
jangan coba-coba bermain denganku. Kukira seseorang yang suka membaca novel
misteri akan lebih pandai, tetapi kau dan aku mempunyai perbedaan di sini.”
‘Di sini ya, di sini’. Kataku,
sambil mengetuk pelipisku.
Aku tidak tahu apakah dia marah atau
menyesalinya, tapi wajah Yume sangat memerah, tak bisa berkata apa-apa, dan
dengan sedikit air mata yang keluar dari matanya.
“......Padahal, kau tidak pernah mengatakan
hal yang kejam seperti itu dulu....!!”
...Jangan menagis, dasar curang.
Aku membelai poniku, dan merasa sedikit
canggung.
Kurasa aku terlalu terbawa suasana.
Untuk orang-orang seperti kami yang lebih suka membaca, kerusakan yang paling berbahaya
bagi kami ialah serangan terhadap kepribadian kami. Itu mirip seperti sebuah majalah
yang mengobrak-abrik kisah kriminal, menambahkan ini dan itu dengan omong
kosong....yap, kurasa aku sudah berlebihan.
Kataku dengan enggan, dan dengan
hati-hati aku mengulurkan tanganku
tap, tap, up, aku
menepuk kepala Yume seolah-olah aku sedang berurusan dengan anak kecil.
“Ya deh, iya. Aku yang salah, maaf ya.
Onee―nee-san.”
Ini bener-bener membuat nostalgia.
Dulu aku juga seperti ini, setiap kali Ayai menatapku dengan malu-malu―
Tapi Yume yang sekarang tidak terlihat
malu atau apa.
Saat ini, tubuhnya bergetar, seperti
gunung berapi yang perlahan-lahan akan meletus.
“.......cu.”
“Cu?”
“Cukup! Aku benci dirimu yang selalu
melakukan sesuatu seperti ini!! Dasar onii-chan baka!!”
Yah, Yume baru saja meludahkan kalimat
itu, dia tersandung oleh buku-buku dilantai, dan berlari keluar kamar.
Aku berdiri sendirian di kamar, dan
tercengang.
...Aku tidak pernah melihat reaksi
seperti itu sebelumnya, bahkan saat kami berpacaran.
“....Dasar......”
―Padahal aku juga.
Padahal kau juga―kau terlihat sangat
pendiam, tetapi kau benci dengan yang namanya kekalahan, kau terlihat dewasa,
namun belum sepenuhnya dewasa....Aku hampir lupa, kalau dia sekarang
menunjukkan wajah yang belum pernah aku lihat sebelumnya―
―itulah yang aku benci dirimu yang
seperti itu.
Dan kemudian,
“......Pagi, Mizuto-kun.”
“......Pagi, Yume-san.”
Cara kami memanggil satu sama lain
tidak berubah sama sekali.
Pada dasarnya, dalam aturan kami, yang
melanggarnya akan menjadi adik. Akan ada hubungan misterius jika kami saling
memanggil ‘nee-san’ dan ‘onii-chan’ secara terus menerus.
Jika ada sesuatu yang berubah―
“Mizuto-kun, tolong kecapnya?”
“Ah, iya, ini Yume-san”
Aku memberikan kecap padanya, untuk
sesaat, mata kami bertemu.
―Tidak mungkin aku menjadi adik perempuanmu.
Tidak sama sekali.
―Kebetulan sekali. Tidak mungkin juga
aku menjadi adik laki-lakimu.
Kami menyampaikan niat kami tanpa kata-kata.
Mana mungkin aku bisa akrab dengan
gadis ini. Kami berpacaran di SMP, tapi itu karena kaminya yang bodoh karena
ada yang tidak beres dengan kami. Rintangan terbesar kemarin ialah bahwa aku
lebih memahami hal ini.
Kami berkumpul di meja yang sama untuk
sarapan, dan kami saling menendang di bawah meja. Di sebelah kami, ada ayah dan
Yuni-san mengobrol dengan wajah bahagia, dan tidak ada yang menyadari apa yang
sedang terjadi.
Cuman kami satu-satunya yang tahu
tentang hubungan kami.
Kami satu-satunya yang tahu bahwa kami
adalah musuh bebuyutan yang saling membenci, lebih dari siapa pun di dunia ini,
Hidup di bawah atap yang sama, dan
hidup dalam keluarga yang sama.
......Meskipun begitu.
“Yume-san, tolong kembalikan
kecapnya.”
“Iya ini, Mizuto-kun.”
Bahkan ketika kami berpacaran, kami
akan memanggil dengan nama keluarga kami, dan pada akhirnya kami memanggil
dengan nama yang diberikan sekarang setelah kami putus―Kupikir Dewa bajingan
ini sangat suka hal-hal ironi.
Translator: Yuuzu
Editor: Janaka
Kukira bakal lanjut volume 6,
ReplyDeleteTapi gapapa, semangat terus min
Masih proses
Delete